Ketua Komjak Tegas: Produk Jurnalistik Tak Bisa Dikenakan Obstruction of Justice

ketua komisi kejaksaan ri produk jurnalistik tak bisa jadi delik obstruction of justice 1746251982779 169
7 / 100

Jakarta – Panthera Jagat News. Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (Komjak), Pujiyono Suwadi, angkat bicara terkait penetapan tersangka terhadap seorang direktur televisi swasta dalam kasus dugaan perintangan penyidikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Pujiyono menegaskan bahwa produk jurnalistik tidak bisa dijerat dengan pasal obstruction of justice (OJ) atau perintangan terhadap proses hukum.

Pernyataan ini disampaikan Pujiyono dalam forum publik di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (2/5). Ia menilai bahwa karya jurnalistik, seberapapun tajam atau negatifnya, tidak dapat diklasifikasikan sebagai delik pidana, termasuk delik obstruction of justice.

“Saya agak beda pendapat tentang obstruction of justice yang kebetulan mengena kepada insan media. Produk media, produk jurnalistik, sekejam apapun, senegatif apapun, itu tidak bisa dijadikan sebagai delik termasuk delik OJ,” tegasnya.

Pujiyono juga memaparkan perbedaan mendasar antara obstruction of justice yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Menurutnya, KUHP hanya mengatur tindakan-tindakan yang secara nyata dan langsung menghambat proses hukum. Sementara itu, dalam UU Tipikor, pendekatannya jauh lebih ketat dan bahkan tindakan kecil yang berpotensi menghambat penyidikan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran.

“Kalau di KUHP itu bedanya adalah yang strictly, yang obvious and famous obstruction, jadi tindakan-tindakan yang secara langsung itu menghambat. Tapi kalau di dalam UU korupsi, sekecil apapun yang dianggap menghambat, itu harus kemudian dianggap sebagai tindakan penghambat,” jelasnya.

Namun demikian, Pujiyono secara tegas menolak apabila produk jurnalistik dimasukkan ke dalam kategori tindakan yang menghalangi penyidikan. Ia menekankan bahwa produk jurnalistik adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan mekanisme check and balance dalam sistem demokrasi, termasuk terhadap lembaga penegak hukum.

“Pengawasan internal enggak cukup. Butuh juga pengawasan dari publik, termasuk jurnalistik,” ujarnya.

Menanggapi kasus penetapan tersangka terhadap Direktur Televisi Swasta Tian Bahtiar dalam perkara importasi gula, Pujiyono menegaskan bahwa keputusan tersebut tidak dilandasi oleh isi atau konten jurnalistik yang diproduksi. Menurutnya, dua alat bukti lain digunakan dalam proses penyidikan, sementara produk jurnalistik tidak termasuk dalam materi yang dijadikan bukti.

“Produk jurnalistik yang dia hasilkan, itu tidak, sama sekali tidak masuk. Tapi ada alat bukti, dua alat bukti yang lain itu yang mengalir,” jelasnya.

Ia juga menyampaikan bahwa pernyataan ini selaras dengan sikap Dewan Pers yang telah menyampaikan pandangan bersama dengan Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung mengenai posisi produk jurnalistik dalam perkara hukum.

Sebagai informasi tambahan, Kejaksaan Agung sebelumnya telah mengalihkan status penahanan terhadap tersangka Tian Bahtiar dari tahanan rumah tahanan (rutan) menjadi tahanan kota. Perubahan ini dilakukan sejak 24 April 2025.

“Sejak tanggal 24 April 2025 terhadap tersangka TB oleh penyidik telah dilakukan pengalihan penahanan dari yang selama ini dilakukan tahanan rutan menjadi tahanan kota di Bekasi,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, Senin (28/4).

Polemik ini kembali memunculkan perdebatan publik mengenai batas antara kebebasan pers dan potensi kriminalisasi terhadap jurnalis. Namun, pernyataan tegas dari Ketua Komjak memperjelas posisi hukum bahwa produk jurnalistik, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, seharusnya tidak dikenai pasal obstruction of justice. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *