Jejak Sejarah Kasino Legal di Jakarta: Ketika Dana Judi Bangun Infrastruktur Ibukota

Screenshot 2025 05 26 081236
8 / 100

JAKARTA — Panthera Jagat News. Pada tahun 1967, DKI Jakarta membuat gebrakan tak biasa dalam sejarah pemerintahan Indonesia. Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, secara resmi melegalkan perjudian demi membiayai pembangunan kota yang tengah berkembang pesat, di tengah keterbatasan anggaran dari pemerintah pusat.

Langkah kontroversial ini diambil menyusul kenyataan bahwa praktik perjudian ilegal saat itu sudah merajalela dan menghasilkan keuntungan besar, namun tidak memberikan kontribusi apa pun kepada kas negara. Berdasarkan data yang dikutip dari Koran Sinar Harapan (21 September 1967), perputaran uang dari judi ilegal mencapai Rp300 juta per tahun, tetapi semua itu hanya memperkaya oknum pelindung praktik tersebut.

“Uang tersebut jatuh ke tangan oknum pelindung perjudian tanpa bisa dirasakan oleh masyarakat,” ujar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kala itu.

Kasino Pertama Resmi di Indonesia
Sebagai solusi, Pemprov DKI mengambil langkah berani dengan melokalisasi dan melegalkan perjudian, dimulai dari kawasan Petak Sembilan, Glodok. Tak lama kemudian, kasino kedua dibuka di kawasan Ancol. Kedua kasino ini beroperasi penuh, dijaga ketat aparat, dan hanya terbuka untuk warga keturunan Tionghoa. Warga negara Indonesia secara umum dilarang bermain.

Langkah ini langsung menuai kontroversi dan kritik keras dari masyarakat, terutama karena bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Banyak yang mengecam Jakarta telah menjadi sarang maksiat.

Namun Ali Sadikin tak gentar. Dalam sebuah wawancara dengan Kompas (30 Oktober 1968), ia justru balik bertanya kepada para pengkritik:

“Bagaimana seandainya saudara menjadi Gubernur yang harus mencukupi dan memberikan pelayanan pada masyarakat, padahal dana dari pusat hanya cukup untuk gaji pegawai?”

Dana Judi Dongkrak APBD Jakarta
Hanya dalam beberapa bulan setelah kasino dibuka, APBD Jakarta meningkat drastis. Pemerintah DKI menerima Rp130 juta pada akhir 1967, dan Rp1,1 miliar pada 1968. Untuk konteks, pada 1967, harga emas per gram sekitar Rp230, artinya dana Rp130 juta saat itu mampu membeli sekitar 565 kg emas, setara dengan Rp1 triliun nilai sekarang.

Sebelum adanya kasino, APBD Jakarta hanya Rp70 juta, sehingga tambahan dana tersebut menjadi lompatan signifikan yang kemudian digunakan untuk membangun berbagai fasilitas umum.

Infrastruktur Modern dari Meja Judi
Dengan dana kasino, Ali Sadikin mulai mengubah wajah Jakarta. Proyek-proyek besar pun dikerjakan:

  • Gedung Kesenian (Rp2,5 juta)
  • Rumah Sakit (Rp6 juta)
  • Gedung Pusat Kebudayaan (Rp15 juta)
  • Perbaikan Jalan Arteri di Kemayoran, Gajah Mada, hingga Blok A (Rp9,5 juta – Rp350 juta)
  • Lampu jalan dan drainase dibenahi
  • Pembangunan Sekolah:
  1. SD (Rp14 juta)
  2. SMP/SMA (Rp70 juta)
  3. Pengadaan tanah sekolah (Rp6 juta)
  4. 40 gedung sekolah baru direncanakan pada 1968

Harian Kompas (20 Mei 1968) mencatat bahwa sektor pendidikan, kesehatan, hingga budaya menjadi penerima manfaat utama dari dana kasino ini. Meski menuai kritik keras dari tokoh agama dan sebagian masyarakat, Ali tetap kukuh.

“Kalau mengharamkan judi, mereka harus punya helikopter. Soalnya, jalan-jalan dibangun dari uang judi. Jadi jalan di Jakarta juga haram,” ujarnya kepada Tempo (2 Juli 2000), menyindir keras para pengkritik.

Akhir dari Era Kasino Legal
Setelah berlangsung selama tujuh tahun dan menjadi bagian dari kebijakan pembangunan Jakarta, era kasino legal di ibukota resmi berakhir pada tahun 1974. Pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1974 yang secara tegas melarang semua bentuk perjudian.

Namun, semangat eksploitasi dana dari praktik permainan berhadiah tetap berlanjut di era Orde Baru melalui skema yang lebih tersamar seperti Porkas dan SDSB.

Warisan Kontroversial Ali Sadikin
Langkah Ali Sadikin hingga kini masih dikenang sebagai kebijakan pragmatis yang berani, meskipun bertentangan dengan norma sosial dan agama. Ia berhasil menunjukkan bahwa pembangunan bisa digenjot cepat jika pemerintah berani mengambil keputusan yang tak populer — bahkan dari sumber yang sangat kontroversial. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *