Jakarta — Panthera Jagat News. Koordinator Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi, Ronald Loblobly, secara tegas meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih penanganan kasus dugaan suap dalam perkara hukum antara Sugar Group Company (SGC) dan Mahkamah Agung (MA), yang menyeret nama eks Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA, Zarof Ricar. Ia menilai, ada indikasi kuat upaya mengamankan pihak-pihak tertentu dalam kasus ini, termasuk petinggi Sugar Group.
“Harapannya agar KPK dapat mengambil alih penyidikan untuk klaster suap,” kata Ronald dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (18/5/2025).
Ronald menuding Kejaksaan Agung (Kejagung) terkesan melindungi pihak-pihak dari SGC. Tuduhan itu dilandaskan pada dakwaan yang hanya menjerat Zarof dengan pasal gratifikasi terkait penerimaan uang Rp915 miliar dan 51 kilogram emas—nilai yang jika dikonversi hampir mencapai Rp1 triliun—namun tanpa menyentuh aspek suap.
Padahal, menurut Ronald, dugaan suap sangat jelas terlihat. Ia merujuk pada Pasal 10A Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019, yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengambil alih penyidikan jika terdapat indikasi bahwa penanganan perkara oleh aparat penegak hukum lain bertujuan melindungi pelaku korupsi atau justru mengandung unsur korupsi baru.
Ronald mendesak KPK untuk memeriksa sejumlah nama besar yang diduga terlibat dalam pengondisian perkara ini, termasuk petinggi SGC seperti Ny. Purwanti Lee dan Gunawan Yusuf, serta beberapa hakim agung, seperti Ketua MA Sunarto, Hakim Agung Suharto, mantan Hakim Agung Soltoni Mohdally, dan Hakim Agung Syamsul Ma’arif. Tak hanya itu, nama-nama seperti Jampidsus Febrie Adriansyah, Jaksa M. Nurachman Adikusumo, hingga pengacara kondang Hotman Paris juga disebut.
“KPK harus memanggil seluruh penyidik yang menggeledah rumah Zarof dan menyita uang Rp915 miliar dan 51 kilogram emas. Karena kami mendapat informasi bahwa jumlah uang yang sebenarnya disita adalah Rp1,2 triliun,” ujarnya.
Ronald juga menyebut, KPK dapat menggunakan pengakuan Zarof sebagai saksi mahkota dalam sidang, termasuk dugaan penerimaan uang Rp50 miliar dan Rp20 miliar dari Ny. Purwanti Lee. Menurutnya, ada “meeting of mind” atau kesepahaman antara Zarof dan pihak SGC terkait upaya memenangkan perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK) melawan Marubeni Corporation.
Kasus hukum ini berawal dari akuisisi Sugar Group Company oleh Gunawan Yusuf dan rekannya lewat PT Garuda Panca Artha (GPA) pada 2001. Mereka memenangkan lelang aset SGC dari Salim Group senilai Rp1,161 triliun. Namun, setelah akuisisi, Gunawan Yusuf cs menolak membayar utang SGC sebesar Rp7 triliun kepada Marubeni Corporation, dengan dalih utang itu direkayasa sebelum akuisisi.
Gugatan mereka ke PN Gunung Sugih dan PN Kotabumi ditolak hingga tingkat kasasi oleh MA dalam putusan No. 2446 dan 2447 K/Pdt/2009, yang menyatakan bahwa utang Rp7 triliun sah dan tercatat dalam laporan keuangan resmi.
Anehnya, alih-alih menempuh jalur peninjauan kembali atas putusan yang sudah inkracht tersebut, pihak Gunawan Yusuf melayangkan empat gugatan baru yang sejatinya hanya berbeda secara aksesori dari perkara lama. Kasus-kasus ini kembali bergulir di MA hingga ke tahap PK.
Majelis kasasi dan PK dalam perkara-perkara baru tersebut dipimpin oleh hakim-hakim agung yang kini disorot, termasuk Sunarto, Soltoni Mohdally, dan Syamsul Ma’arif. Putusan PK No. 1362 PK/Pdt/2024 yang diputus dalam waktu hanya 29 hari, menimbulkan kecurigaan karena dianggap tak lazim mengingat kompleksitas perkara.
Nama Syamsul Ma’arif pun disorot karena pernah menangani perkara serupa sebelumnya, yang menurut UU No. 48 Tahun 2009 seharusnya membuatnya mundur demi asas imparsialitas. Selain itu, catatan penyidik saat menggeledah rumah Zarof Ricar mengungkap sejumlah frasa mencurigakan seperti “Pelunasan Perkara Sugar Group Rp200 miliar”, “Titipan Lisa”, dan “Untuk Ronal Tannur”.
Gunawan Yusuf, pemilik baru SGC, merupakan tokoh bisnis yang pernah masuk daftar 50 orang terkaya Indonesia versi Globe Asia. Ia diketahui lahir di Jakarta pada 6 Juni 1954 dan memiliki jaringan bisnis di berbagai sektor, termasuk PT Makindo Tbk.
Pada 2004, Gunawan dilaporkan dalam dugaan penipuan dan TPPU oleh Toh Keng Siong terkait dana USD 126 juta yang ditempatkan ke PT Makindo tahun 1999. Meski sempat menang praperadilan pada 2012, kasus ini dihentikan penyidikannya oleh Polri pada 2018. Ia juga tercatat memiliki persoalan perpajakan sebesar Rp494 miliar.
Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi yang terdiri dari Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST), Indonesia Police Watch (IPW), TPDI, dan Peradi Pergerakan, telah resmi melaporkan kasus ini ke Gedung Merah Putih KPK, Rabu (14/5/2025). Mereka menuntut agar KPK tidak tinggal diam dan segera membuka kembali seluruh jalur hukum untuk menindaklanjuti indikasi suap dalam perkara ini.
“Ini bukan hanya soal suap, tapi soal keberanian mengungkap sistem korupsi yang melibatkan elite hukum dan ekonomi. Jika KPK tidak bertindak, publik akan kehilangan kepercayaan total terhadap penegakan hukum di negeri ini,” tegas Ronald. (Red)