Sukabumi – Panthera Jagat News. Dugaan praktik penyelewengan anggaran kembali mencuat di tubuh pemerintahan Kabupaten Sukabumi. Kali ini, Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kabupaten Sukabumi menjadi sorotan tajam setelah muncul laporan terkait tidak transparannya penyaluran honor untuk para kader yang terlibat dalam program-program dinas tersebut.
Berdasarkan hasil investigasi tim Seputarjagat News, diketahui bahwa dana honor yang semestinya diberikan kepada para kader di tingkat kecamatan hingga desa, diduga tidak sepenuhnya disalurkan sesuai ketentuan. Padahal, honor tersebut merupakan bagian dari dukungan operasional terhadap program-program penting, seperti BKB, BKL, BKR, PIK-R, UPPKS, dan lainnya.
Salah satu pengakuan datang dari E, seorang Koordinator KB Desa di Kecamatan Nyalindung. Ia mengungkapkan bahwa dirinya hanya menerima honor sebesar Rp120.000 per bulan, yang setelah dipotong pajak menjadi Rp114.000, dan itu pun dibayarkan hanya setiap triwulan. “Teman-teman saya yang berjumlah enam orang sebagai TPK juga menerima nominal yang sama,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon pada 28 Mei 2025.
Pengakuan senada datang dari N, seorang kader Pos KB dari Kecamatan Cimanggu. Ia menjelaskan bahwa dirinya juga menerima honor yang sama, namun menyebut bahwa kader TPK di wilayahnya justru tidak mendapatkan honor sama sekali. “PLKB Desa yang memberikan langsung secara tunai setiap triwulan. Tapi untuk TPK, tidak ada honor,” ujarnya.
Kondisi lebih mencengangkan terungkap dari M, seorang kader Pos KB dari Kecamatan Sukalarang. Ia menyebut bahwa dirinya dan para TPK tidak pernah menerima honor dari DPPKB. “Kami hanya dapat honor dari desa. Bahkan untuk kegiatan Kampung KB pun tidak ada anggaran,” paparnya kecewa. Ia juga menyebut bahwa peran PLKB hanya sebatas mengambil data, tanpa turun langsung ke lapangan, dan tidak memberikan honor kepada kader. “Kami baru tahu ada honor setelah ada yang bertanya,” tambahnya.
Dugaan adanya penyimpangan semakin menguat setelah ditemukan dokumen internal yang menunjukkan anggaran honor kader untuk seluruh kegiatan tahun 2023 mencapai Rp13,23 miliar. Jumlah serupa juga dialokasikan untuk tahun 2024. Namun realisasi di lapangan diduga sangat jauh dari laporan keuangan resmi.
Seorang pegawai UPTD DPPKB yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa pada Februari 2025, Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi sempat melakukan penyelidikan terhadap dugaan penyelewengan ini. “UPTD Kecamatan Cicantayan dan Caringin jadi sampel pemeriksaan. Setelah itu, mendadak digelar rapat internal di Kantor DPPKB. Kadis Firdaus, yang menjabat tahun 2024, memerintahkan agar membuat SPJ baru karena SPJ lama tahun 2023 sudah dijual ke rongsok,” bebernya.
Ia juga menyebut bahwa banyak SPJ tahun 2023 yang akhirnya dibuat di tahun 2025 dan ditandatangani sendiri oleh petugas PLKB, sebuah pelanggaran administratif yang bisa bermuara ke ranah hukum.
Sambodo, Ketua Umum Paguyuban Maung Sagara yang fokus dalam pengawasan anggaran daerah, menyesalkan dugaan kecurangan ini. “Jika benar dana honor kader dipotong atau tidak disalurkan, ini bentuk korupsi terstruktur. Kader adalah ujung tombak program KB dan layak mendapat haknya secara utuh,” tegasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak DPPKB Kabupaten Sukabumi belum memberikan pernyataan resmi. Beberapa kali awak media mencoba menghubungi Kadis maupun Sekdis, namun tidak berhasil mendapatkan tanggapan. Kedua pejabat tersebut terkesan menghindar dari konfirmasi.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), setiap badan publik berkewajiban memberikan akses informasi kepada masyarakat. Menghalangi hal ini dapat berujung pada pelanggaran hukum.
Imam Prihadiyoko, penguji dari Lembaga Uji Kompetensi Wartawan Universitas Muhammadiyah Jakarta, dalam pelaksanaan UKW di Indramayu pada 30 Mei 2025, menegaskan bahwa pejabat pemerintah yang enggan memberikan informasi kepada wartawan bisa dikategorikan melanggar hukum. “Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa tindakan menghalangi tugas jurnalistik bisa dikenai sanksi pidana dua tahun penjara atau denda maksimal Rp500 juta,” jelasnya.
Kasus ini membuka tabir lemahnya pengawasan anggaran dan pentingnya transparansi dalam birokrasi. Jika benar terbukti, maka penegakan hukum harus berjalan tanpa pandang bulu demi keadilan dan hak para kader yang selama ini menjadi garda depan pelayanan masyarakat. (DS/RD)