Bacakan Pleidoi, Eks Pejabat Kemenkes Budi Sylvana Klaim Tak Nikmati Uang Korupsi APD COVID-19: “Saya Hanya Jalankan Tugas”

Screenshot 2025 05 24 091732
9 / 100

Jakarta, 23 Mei 2025 — Panthera Jagat News. Terdakwa kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19, Budi Sylvana, menyampaikan pembelaannya dalam sidang pleidoi yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Jumat (23/5/2025). Dalam pembelaannya, Budi yang merupakan mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, membantah keras telah menikmati hasil dari tindak pidana korupsi yang menjeratnya.

Budi menegaskan bahwa dirinya hanya menjalankan tugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) berdasarkan mandat yang diberikan kepadanya dalam situasi darurat pandemi global.

“Saya tidak pernah bertindak di luar kewenangan yang diberikan kepada saya. Saya bertindak atas nama pemberi mandat dan saya hanya menjalankan tugas yang dibebankan kepada saya,” ujar Budi di hadapan majelis hakim.

Budi juga menyatakan bahwa dirinya bukan inisiator pengadaan APD, melainkan hanya menerima jabatan sebagai PPK ketika proses pengadaan sudah berlangsung. Ia menambahkan bahwa penunjukannya didasari oleh panggilan kemanusiaan, bukan ambisi pribadi.

“Saya bukan penggagas, bukan perancang, dan bukan pula pengambil keputusan awal dalam proses pengadaan APD ini,” lanjutnya.

Menurut Budi, seluruh tahapan pengadaan—mulai dari penetapan penyedia, pengambilan barang, hingga penyusunan kontrak—telah dilakukan oleh pihak lain sebelum dirinya terlibat. Ia mengaku hanya diminta untuk menandatangani dokumen yang sudah disepakati secara kolektif.

“Negosiasi harga dan mekanisme pembayaran sudah disepakati sebelumnya. Saya hanya menandatangani dokumen yang telah disetujui oleh kuasa pengguna anggaran,” jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Budi memohon kepada majelis hakim untuk mempertimbangkan fakta bahwa ia tidak pernah menerima sepeser pun keuntungan pribadi dari perannya sebagai PPK.

“Saya tidak pernah menerima apa pun, baik berupa uang, fasilitas, ataupun keuntungan pribadi. Bahkan honor atau biaya tugas saya sebagai PPK pun tidak pernah saya terima,” tegasnya.

Detail Tuntutan
Sebelumnya, dalam sidang tuntutan pada 16 Mei 2025, Jaksa Penuntut Umum menjatuhkan tuntutan kepada tiga terdakwa:

  1. Budi Sylvana dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.
  2. Ahmad Taufik (Dirut PT Permana Putra Mandiri) dituntut 14 tahun 4 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 224,18 miliar subsider 6 tahun penjara.
  3. Satrio Wibowo (Dirut PT Energi Kita Indonesia) dituntut 14 tahun 10 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan, dan uang pengganti Rp 59,98 miliar subsider 4 tahun penjara.

Jaksa menyebut bahwa Budi bersama Satrio dan Ahmad diduga melakukan pengadaan 170.000 set APD tanpa dokumen resmi seperti surat pesanan. Selain itu, mereka juga menandatangani surat pesanan untuk 5 juta set APD tanpa dasar hukum yang kuat. Bahkan, mereka menerima pinjaman dari BNPB sebesar Rp 10 miliar tanpa dilengkapi dokumen pendukung.

Total pembayaran untuk 1.010.000 set APD merek BOH0 yang diterima oleh PT PPM dan PT EKI mencapai lebih dari Rp 711 miliar. Namun, PT EKI diketahui tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK), dan tidak menyerahkan dokumen kewajaran harga kepada PPK.

Kerugian Negara
Menurut jaksa, perbuatan para terdakwa mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319.691.374.183. Berikut rincian kerugian yang dinikmati para pihak:

  • Satrio Wibowo: Rp 59.980.000.000
  • Ahmad Taufik: Rp 224.186.961.098
  • PT Yoon Shin Jaya: Rp 25.252.658.775
  • PT GA Indonesia: Rp 14.617.331.956

Angka tersebut diperoleh berdasarkan Laporan Hasil Audit BPKP tanggal 8 Juli 2024, terkait penghitungan kerugian negara atas pengadaan APD menggunakan Dana Siap Pakai dari BNPB tahun 2020.

Majelis Hakim dijadwalkan akan memberikan putusan dalam waktu dekat, setelah mendengarkan pembelaan dari seluruh terdakwa. Perkara ini menjadi sorotan publik karena terjadi dalam situasi krisis pandemi, di mana setiap rupiah anggaran seharusnya digunakan untuk keselamatan rakyat, bukan memperkaya segelintir pihak. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *