NU Bekasi Kecam Kebijakan Penyerahan Ijazah Dedi Mulyadi: “Zalim dan Tidak Berpihak pada Pesantren”

Screenshot 2025 05 23 090554
7 / 100

Bandung – Panthera Jagat News. Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mewajibkan sekolah menyerahkan ijazah kepada seluruh siswa tanpa syarat menuai kritik tajam dari kalangan pesantren dan organisasi pendidikan di Kabupaten Bekasi. Dalam sebuah forum audiensi yang digelar di Kantor DPRD Jawa Barat, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi, RMI-NU, Forum Pondok Pesantren, BMPS, dan sejumlah perwakilan pesantren secara tegas menyatakan penolakan terhadap kebijakan tersebut.

Ketua PCNU Kabupaten Bekasi, Atok Romli Mustofa, menyebut kebijakan penyerahan ijazah secara sukarela ini tidak berpihak kepada pesantren dan bahkan bersifat zalim. Ia mengkritik keras keputusan yang menurutnya dibuat secara intuitif dan intimidatif, tanpa melalui kajian mendalam dan partisipasi dari para pemangku kepentingan di sektor pendidikan.

“Kebijakan ini sangat menyedihkan dan menciptakan keresahan, khususnya bagi pesantren. Disertai pula ancaman, seperti pencabutan bantuan BPMU dan izin operasional bagi yang menolak,” kata Atok, Rabu (21/5/2025).

Kekhawatiran tidak hanya datang dari segi legalitas, tetapi juga dari dampak nyata di lapangan. KH. Kholid, pengasuh Pondok Pesantren Yapink Pusat, menyebut bahwa kebijakan ini telah mengganggu proses belajar mengajar.

“Para alumni datang menuntut ijazah dengan dasar perintah gubernur, padahal mereka masih memiliki tanggungan keuangan. Di sisi lain, pesantren tidak mendapatkan haknya,” jelas Kholid.

Menurutnya, hal ini mengancam kelangsungan operasional pesantren. Ia mengungkapkan bahwa satu pesantren di Kabupaten Bekasi bahkan memiliki tunggakan mencapai Rp1–1,7 miliar yang belum dibayar alumni. Jika tren ini berlanjut, banyak pesantren terancam gulung tikar dalam waktu dekat.

Dampak lain yang diwaspadai adalah degradasi moral dan hilangnya rasa hormat kepada guru serta lembaga pesantren. Kholid memperingatkan bahwa narasi yang dibangun pemerintah berpotensi memecah kepercayaan antara santri dan pesantren.

“Seolah-olah pesantren zalim karena menahan ijazah, padahal itu bagian dari tanggung jawab. Jika orang tua dan santri tidak diajarkan menunaikan kewajiban, generasi bangsa yang akan rusak,” tegasnya.

Ketua BMPS Kabupaten Bekasi, M. Syauqi, mempertanyakan kepatutan kebijakan tersebut yang dinilai tidak partisipatif. Ia menggarisbawahi bahwa pemerintah belum mampu sepenuhnya membiayai pendidikan gratis, yang hanya menjangkau sekitar 25–35% populasi melalui sekolah negeri.

“Kami ragu pemerintah bisa menunaikan tanggung jawab pendidikan nasional tanpa bantuan sekolah swasta, terutama pesantren yang sudah mengakar sejak sebelum Indonesia merdeka,” ungkap Syauqi.

Melalui forum audiensi ini, seluruh pihak yang hadir mendesak Gubernur Jawa Barat untuk meninjau ulang kebijakan tersebut, atau setidaknya membuat pengecualian bagi pesantren. Mereka juga meminta dukungan DPRD Jawa Barat agar bisa menyalurkan aspirasi ini ke Pemprov Jawa Barat secara resmi.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sebelumnya mengeluarkan instruksi kepada seluruh kepala sekolah di tingkat SD hingga SMA agar tidak menahan ijazah siswa yang telah lulus, meski ada tunggakan biaya.

“Masalah finansial jangan jadi penghalang siswa mendapatkan hak ijazahnya,” ujar Dedi kepada wartawan.

Dedi juga menjanjikan akan ada tim khusus untuk menyusun dan menyelesaikan tunggakan siswa bersama pihak sekolah.

Kontroversi kebijakan penyerahan ijazah ini membuka perdebatan mendalam soal keadilan dan kepekaan kebijakan pendidikan terhadap pesantren. Di tengah peran besar pesantren dalam mendidik generasi bangsa, para pengasuh berharap adanya solusi adil dan partisipatif, bukan sekadar keputusan sepihak yang berpotensi mematikan lembaga pendidikan keagamaan tradisional yang selama ini menopang sistem pendidikan nasional. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *