Kabupaten Sukabumi – Panthera Jagat News. Senin, 19 Mei 2025, Dunia pendidikan nonformal di Kabupaten Sukabumi kembali diterpa isu serius. Kali ini, sorotan publik tertuju pada dua lembaga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), yakni PKBM “LPMD” di Kecamatan Cicantayan dan PKBM “Perintis” di Kecamatan Ciambar. Keduanya dilaporkan terkait dugaan penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Pendidikan Kesetaraan. Namun, yang menjadi tanda tanya besar, hanya satu kasus yang berlanjut ke pengadilan.
PKBM “LPMD” dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi oleh Forum Komunikasi Wartawan Sukabumi Bersatu (FKWSB) atas dugaan penyimpangan dana BOP tahun 2024. Namun, hingga kini, tidak ada kejelasan terkait tindak lanjut dari laporan tersebut. Sementara itu, kasus PKBM “Perintis” justru berlanjut hingga meja hijau, menimbulkan spekulasi publik soal keadilan dan konsistensi penegakan hukum.
Kasus PKBM “Perintis” mencuat setelah penyidik menemukan data pelajar fiktif yang tercatat sebagai penerima dana BOSP (Bantuan Operasional Satuan Pendidikan), padahal siswa-siswa tersebut tidak pernah menempuh pendidikan di lembaga tersebut. Menurut Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi, Wawan Kurniawan, SH, MH, tindakan korupsi tersebut dilakukan oleh pengelola lembaga berinisial OS, dan kerugian negara ditaksir mencapai Rp 1,06 miliar untuk periode tahun 2020 hingga 2023.
Namun, kejanggalan muncul dari informasi yang dihimpun oleh Seputar Jagat News. Meskipun telah ditemukan kerugian negara dari periode 2020–2023, PKBM “Perintis” tetap mendapatkan kucuran dana BOSP pada tahun 2024 sebesar Rp 558.390.000 dan kembali menerima pada tahun 2025 sebesar Rp 479.310.000. Padahal, dugaan pelanggaran sudah diketahui sejak sebelum tahun 2024.
“Kalau memang ada siswa fiktif yang menyebabkan kerugian sebesar Rp 1,06 miliar, mengapa dana BOSP tetap dicairkan di tahun-tahun berikutnya? Harus dijelaskan, mana data fiktifnya,” ujar seorang pengelola PKBM kepada awak media. Ia mempertanyakan logika di balik audit dan penghitungan kerugian negara oleh Inspektorat.
Lebih jauh, pengelola tersebut juga menyoroti pihak-pihak lain yang seharusnya ikut bertanggung jawab. Ia menyebut bahwa selain pengelola PKBM, para penilik yang melakukan monitoring, serta operator yang mengunggah data ke Dapodik, yakni HRN dan AS, harusnya juga diselidiki. Pasalnya, mereka berada di bawah pengawasan Kasi Kesetaraan (HI) dan Kabid Pendidikan Nonformal (PNF) pada saat itu, yakni DG, yang diduga memiliki akses langsung terhadap validasi data peserta didik.
Hal mengejutkan lain pun diungkapkan. Pengelola PKBM mengaku bahwa setelah pencairan dana BOSP, ia kerap dihubungi oleh pejabat Dinas Pendidikan, seperti Kasi atau Kabid, untuk “menanyakan kabar” dan mengarah pada permintaan setoran. “Kami minta nomor rekening. Lalu kami transfer ke Pak Kabid DG. Itu tidak hanya terjadi di lembaga kami, tapi hampir semua PKBM mengalami hal yang sama,” ungkapnya.
Ia pun menambahkan bahwa PKBM yang sebelumnya dilaporkan seperti “LPMD” seharusnya juga diproses secara hukum. “Kenapa hanya PKBM ‘Perintis’ yang diseret ke pengadilan, padahal oknum dinas yang terlibat tidak tersentuh?” imbuhnya.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar terkait peran dan fungsi pengawasan Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi. Masyarakat dan pemerhati pendidikan kini mempertanyakan lemahnya sistem monitoring dan audit internal di lembaga pendidikan nonformal.
“Ini menunjukkan bahwa sistem pembinaan dan pengawasan terhadap PKBM sangat rapuh. Dinas Pendidikan seharusnya tidak bisa cuci tangan. Mereka adalah pembina langsung PKBM,” ungkap seorang pengamat pendidikan lokal.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat, bahwa pengelolaan dana pendidikan — khususnya di sektor nonformal — harus diperbaiki. Transparansi anggaran, integritas dalam manajemen, serta pengawasan lintas lembaga harus diperkuat.
Kini, masyarakat berharap proses hukum terhadap kasus PKBM ini benar-benar dijalankan secara adil dan menyeluruh, bukan sekadar tebang pilih atau ajang saling lempar tanggung jawab. Kejelasan, keterbukaan, dan akuntabilitas menjadi kunci utama untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan.
(HSN)