Penempatan Prajurit TNI di Kejaksaan Dikritik, Komisi III DPR Minta Dikaji Ulang Demi Jaga Supremasi Sipil

Screenshot 2025 05 14 210557
8 / 100

Jakarta — Panthera Jagat News. Polemik penempatan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) di kantor-kantor Kejaksaan di seluruh Indonesia menuai sorotan tajam dari kalangan legislatif. Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menyarankan agar kerja sama antara TNI dan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait pengamanan institusi kejaksaan segera dikaji kembali secara mendalam.

Menurut Rudianto, meskipun penempatan personel TNI untuk mengamankan kantor kejaksaan tidak secara langsung berkaitan dengan aspek teknis penegakan hukum, langkah ini tetap menimbulkan kekhawatiran akan menyimpang dari semangat reformasi, khususnya dalam hal menjaga supremasi sipil di kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Langkah tersebut baiknya dikaji kembali sebagai upaya menjaga semangat awal reformasi, yakni menjaga supremasi sipil dalam kehidupan bernegara, termasuk dalam penegakan hukum,” ujar Rudianto dalam keterangannya, Selasa (13/5/2025).

Rudianto menekankan pentingnya civilian value (nilai-nilai sipil) sebagai bentuk penghormatan terhadap cita-cita reformasi 1998, yang telah menjadi fondasi dalam restrukturisasi ketatanegaraan dan konstitusi Indonesia.

Ia merujuk pada Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta kejaksaan dan advokat sebagai institusi yang membantu dalam proses tersebut.

Sementara itu, Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa penegakan hukum merupakan domain Kepolisian Negara Republik Indonesia, bukan TNI.

Dalam konteks teori Integrated Criminal Justice System, Rudianto mengingatkan bahwa sistem hukum pidana Indonesia dikenal dengan konsep Catur Wangsa, yaitu: Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat — yang keseluruhannya adalah institusi berbasis sipil.

“Penting menjaga arah penegakan hukum di Indonesia dengan berdasarkan nilai-nilai konstitusi dan konstitusionalisme,” tegasnya.

Langkah menempatkan prajurit TNI di kantor Kejaksaan berisiko mengaburkan batas peran antara institusi militer dan institusi penegak hukum sipil. Di masa lalu, salah satu agenda utama reformasi adalah memastikan TNI tidak lagi terlibat dalam urusan sipil, kecuali dalam kondisi darurat dan berdasarkan keputusan politik negara yang sah.

Keterlibatan TNI dalam urusan pengamanan kantor Kejaksaan — lembaga yang berada di luar struktur pertahanan negara — dinilai dapat menciptakan preseden yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi dan rule of law.

Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari Kejaksaan Agung maupun pihak TNI terkait desakan evaluasi yang disampaikan oleh Komisi III DPR tersebut. Namun, sorotan terhadap kebijakan ini diperkirakan akan terus bergulir dan menjadi bahan evaluasi di parlemen.

Rudianto menegaskan bahwa upaya penegakan hukum harus berjalan dengan prinsip konstitusional, tanpa intervensi atau campur tangan lembaga yang tidak memiliki wewenang langsung.

“Semua institusi harus bekerja sesuai mandat konstitusinya masing-masing. Itulah yang akan membuat negara kita kuat, adil, dan demokratis,” pungkas Rudianto.

Langkah evaluasi kerja sama TNI-Kejagung menjadi penting agar tata kelola hukum nasional tetap berada di bawah prinsip demokrasi sipil dan tidak menggerus nilai-nilai reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *