Jakarta — Panthera Jagat News. Kritik tajam terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia kembali disuarakan oleh Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan tokoh hukum terkemuka. Dalam sebuah pernyataan blak-blakan, Mahfud menyebut bahwa hukum di negeri ini telah berubah menjadi seperti toko kelontong, di mana keadilan bisa dibeli sesuai harga dan kualitas yang diinginkan.
Pernyataan itu disampaikannya dalam podcast yang diunggah di kanal YouTube Mahfud MD Official, pada Sabtu (11 Mei 2025). Mahfud menyoroti maraknya praktik suap di lembaga peradilan, yang menurutnya kini sudah bukan lagi hal luar biasa, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang lazim oleh sebagian kalangan di lingkungan hakim.
“Sehingga sekarang, hukum sudah seperti apa? Seperti toko kelontong. Tinggal beli orang. Anda mau beli hukum berapa? Sekelas apa? Sekualitas apa? Nah, itu yang sekarang terjadi,” kata Mahfud.
Mahfud juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap minimnya kepedulian dari kalangan hakim sendiri, termasuk mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam kasus-kasus suap. Ia menyebut banyak hakim yang justru menunjukkan sikap apatis terhadap praktik kotor di dunia peradilan.
“Dan kadang-kadang hakim-hakim yang tidak terlibat itu tidak prihatin. Yang tidak terlibat secara formal ya sudah, itu biasa. Kan ada yang begitu, ada yang tidak. Tidak ada rasa prihatin,” ucap Mahfud.
Lebih mengejutkan lagi, Mahfud menyatakan bahwa ada sebagian pihak yang justru membela tindakan salah yang dilakukan oleh hakim-hakim yang tersandung kasus suap. Hal ini, menurutnya, mencerminkan betapa merosotnya integritas sistem hukum di Indonesia saat ini.
Pernyataan Mahfud diperkuat oleh data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebut bahwa hakim merupakan penegak hukum yang paling banyak ditangkap karena kasus korupsi dalam kurun waktu 2010 hingga 2025.
Berdasarkan data tersebut, 31 hakim telah ditangani KPK karena terjerat kasus suap dan korupsi. Diikuti oleh 19 pengacara, 13 jaksa, dan 6 anggota kepolisian. Salah satu kasus yang menjadi sorotan baru-baru ini adalah skandal di Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang disebut Mahfud seolah menunjukkan adanya jejaring penerima suap antar-pengadilan.
“Setiap pengadilan seolah berjejaring dengan pengadilan lain untuk menerima suap,” tegas Mahfud dalam potongan lain podcast-nya.
Pernyataan Mahfud MD ini menjadi alarm keras bagi reformasi hukum di Indonesia, sekaligus menantang semua pihak, khususnya lembaga peradilan, untuk membersihkan diri secara menyeluruh dan mengembalikan wibawa hukum sebagai alat keadilan, bukan komoditas dagang.
Publik kini menanti, apakah kritik ini akan menjadi momentum perubahan nyata di tubuh peradilan, atau justru kembali menjadi sekadar peringatan yang tenggelam oleh praktik impunitas yang terus berulang. (Red)