Sukabumi – Seputar Jagat News. Senin, 11 November 2024. Proyek pembangunan pedestrian di Kota Sukabumi tahun anggaran 2023 kini tengah menjadi pusat perhatian setelah muncul dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan sejumlah kontraktor dan pejabat terkait. Proyek yang dibiayai dari APBD Kota Sukabumi dan Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Barat diduga tidak sesuai dengan hasil pekerjaan yang seharusnya, dan saat ini sedang dalam penyelidikan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Penyelidikan ini merujuk pada Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat nomor Print-2470/M.2/FD.1/10/2024 tanggal 3 Oktober 2024, yang mengatur penyelidikan dugaan penyimpangan dalam proyek pembangunan pedestrian yang melibatkan anggaran sebesar Rp 44.066.002.850, dengan rincian Rp 33.141.279.600 berasal dari Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Barat dan Rp 10.924.723.250 dari APBD Kota Sukabumi.
Indikasi Penyimpangan dan Pengumpulan Uang Kewajiban Menurut informasi yang diperoleh awak media, sejumlah kontraktor yang berminat memenangkan paket pekerjaan proyek ini diduga diwajibkan untuk menyetor uang kewajiban sebesar 25% dari nilai pagu proyek. Setoran ini, yang dikumpulkan untuk kepentingan proyek, disebut-sebut mencapai lebih dari Rp 7,5 miliar. Namun, hingga saat ini, belum ada penjelasan mengenai siapa pejabat yang menerima uang tersebut, baik di tingkat Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun di Pemerintah Kota Sukabumi.
Kewajiban setoran ini diduga merupakan bentuk komitmen yang disepakati oleh pihak-pihak yang mengelola anggaran proyek dengan pihak Provinsi Jawa Barat. Pihak berwenang, termasuk Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, saat ini tengah melakukan penyelidikan untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam dugaan praktik suap atau pungutan liar dalam proyek ini.
Dugaan Markup Harga dan Ketidaksesuaian RAB Selain kewajiban setoran, dugaan lainnya yang mengemuka adalah adanya markup terhadap harga material dalam proyek tersebut. Hal ini terungkap setelah ditemukan adanya ketidaksesuaian antara harga yang tercantum dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang disusun oleh konsultan perencana, Asep Sidik, dan harga pasaran yang berlaku. Kondisi ini semakin memperburuk dugaan adanya manipulasi anggaran untuk keuntungan pribadi, yang berpotensi merugikan negara.
Temuan BPK dan Kerugian Negara Temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Jawa Barat mengungkapkan adanya ketidaksesuaian antara hasil pekerjaan yang dilakukan dengan anggaran yang telah dialokasikan. Berdasarkan temuan tersebut, kerugian negara yang harus dikembalikan ke kas daerah mencapai Rp 1.457.944.193,41. Angka tersebut terdiri dari Rp 1.036.568.724,20 yang bersumber dari Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Barat dan Rp 421.375.469,21 yang bersumber dari APBD Kota Sukabumi.
Temuan ini mengindikasikan bahwa proyek tersebut tidak hanya tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan, tetapi juga mengalami pemborosan anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan infrastruktur yang lebih baik.

Tanggapan Praktisi Hukum HR. Irianto Marpaung Menyikapi hal ini, HR. Irianto Marpaung, seorang praktisi hukum, menanggapi dengan tegas bahwa apabila proyek ini dikelola dengan baik dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, tidak akan mungkin muncul temuan atau kerugian seperti yang telah ditemukan oleh BPK. Irianto menegaskan, “Seharusnya, jika proyek ini dikerjakan dengan benar dari awal, tidak akan ada temuan, baik dari BPK atau lembaga pengawas lainnya. Apalagi jika proyek ini sudah didampingi oleh Aparat Penegak Hukum (APH), sebagaimana yang dikatakan oleh Asep Sidik kepada media. Jika dengan pengawasan APH saja masih terjadi kebocoran miliaran rupiah, bagaimana kalau tanpa pengawasan APH? Ini menunjukkan bahwa proyek ini mungkin sudah ‘dikondisikan’ dari awal,” ujar Irianto dengan tegas.
Tanggapan Kepala DPUTR Kota Sukabumi Di sisi lain, Sony Hernanto, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, dan Perumahan Rakyat (DPUTR) Kota Sukabumi, memberikan klarifikasi atas temuan BPK. Dalam wawancara dengan media pada 11 November 2024, Sony menyatakan bahwa nilai temuan BPK yang mencapai Rp 1,8 miliar dianggap wajar bila dibandingkan dengan total nilai proyek yang mencapai Rp 43 miliar. Sony juga menambahkan bahwa selama pelaksanaan proyek, pihaknya telah mengusulkan agar proyek ini didampingi oleh berbagai pihak, termasuk pengawasan dari profesional di luar pemerintah serta audit probity dari Inspektorat, guna memastikan bahwa proyek ini dijalankan dengan transparan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Namun, HR. Irianto Marpaung memberikan penilaian berbeda mengenai hal ini, dengan menyatakan bahwa pengawasan yang baik seharusnya dilakukan sejak awal, bukan setelah proyek selesai. “Jika dari awal sudah ada penyimpangan, pengawasan yang dilakukan setelahnya tidak akan mengubah substansi dari penyimpangan yang ada. Bahkan, hal ini bisa mengarah pada upaya pencucian uang atau penutupan jejak,” tegas Irianto.
Opini WTP dan Pengertian Transparansi Keuangan Mengenai pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk Kota Sukabumi, Irianto juga memberikan penjelasan. “Opini WTP memang menunjukkan bahwa laporan keuangan disusun secara wajar sesuai dengan standar akuntansi pemerintah, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada penyimpangan atau praktik korupsi. Opini WTP hanya mengacu pada kewajaran laporan keuangan, bukan bebas dari korupsi,” ujarnya. Menurutnya, opini WTP adalah bentuk apresiasi terhadap administrasi laporan keuangan yang sudah sesuai dengan standar, namun bukan jaminan bahwa tidak ada penyalahgunaan anggaran di lapangan.
Kesimpulan dan Langkah Selanjutnya Penyelidikan yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat diharapkan dapat mengungkap lebih jauh mengenai siapa saja yang terlibat dalam dugaan penyalahgunaan anggaran proyek pembangunan pedestrian ini. Masyarakat pun menantikan transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus ini, serta berharap agar proses hukum berjalan dengan adil dan tegas.
Dugaan korupsi ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap proyek-proyek yang menggunakan dana publik, serta perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan anggaran negara.
(Skm)