Wamenkumham Tegaskan Revisi KUHAP Harus Disahkan 2025: Penegak Hukum Bisa Kehilangan Legitimasi Jika Ditunda

Screenshot 2025 05 29 110435
8 / 100

JAKARTA – Panthera Jagat News. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan bahwa Revisi Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) wajib diselesaikan dan disahkan pada tahun 2025. Penegasan ini disampaikan dalam acara Webinar Sosialisasi RUU KUHAP, Rabu (28/5/2025), sebagaimana dikutip dari siaran pers resmi.

“Mau tidak mau, suka tidak suka, bahkan senang atau tidak senang, RUU KUHAP harus disahkan pada tahun 2025 ini, karena memiliki implikasi signifikan terhadap KUHP yang mulai berlaku pada 2 Januari 2026,” ujar pria yang akrab disapa Eddy itu.

Eddy mengungkapkan bahwa sejumlah ketentuan dalam KUHAP lama, terutama yang berkaitan dengan penahanan, akan kehilangan dasar hukum mulai awal 2026. Jika tidak direvisi, aparat penegak hukum bisa kehilangan legitimasi hukum dalam melakukan tindakan hukum seperti penahanan.

Ia mencontohkan Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang saat ini menjadi dasar penahanan terhadap tersangka dengan ancaman pidana di bawah lima tahun. Namun, sejumlah pasal yang menjadi dasar tersebut akan dihapus dalam KUHP baru, sehingga tidak relevan lagi digunakan setelah 2 Januari 2026.

“Kalau ada tersangka atau terdakwa yang ditahan dengan pasal tersebut, maka aparat penegak hukum akan kehilangan dasar hukum yang sah untuk menahannya,” jelas Eddy.

Eddy menekankan bahwa RUU KUHAP yang baru membawa pergeseran paradigma dari model penegakan hukum lama yang fokus pada kontrol kejahatan (crime control) ke arah proses hukum yang menjamin hak asasi manusia (due process model).

“Bayangkan seseorang ditangkap, ditahan, digeledah, disita, padahal belum tentu dia bersalah. Oleh karena itu, hukum acara pidana harus bertujuan untuk melindungi hak individu dari kesewenang-wenangan aparat, bukan sekadar memproses tersangka,” tegasnya.

Lebih jauh, Eddy menyatakan bahwa RUU KUHAP disusun dengan mengacu pada paradigma hukum pidana modern, yaitu keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif.

Keadilan restoratif bahkan dimungkinkan untuk dilakukan pada seluruh tingkatan proses hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan.

Dalam proses penyusunan RUU KUHAP, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Eddy menyebut diskusi intensif telah dilakukan dengan para ahli hukum, kementerian dan lembaga terkait, organisasi advokat, masyarakat sipil, serta civitas akademika.

“Kami mendapat banyak masukan, terutama dari teman-teman advokat. Karena kewenangan besar aparat penegak hukum harus disertai dengan perlindungan HAM terhadap individu yang diproses dalam perkara pidana,” kata Eddy.

Di tempat terpisah, Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, menyatakan bahwa pihaknya memberikan izin untuk menggelar rapat dengar pendapat dan pembahasan revisi KUHAP selama masa reses, demi mengejar target pengesahan.

“Jadi semua nunggu KUHAP. KUHAP-nya selesai dulu. Makanya kita kebut, kita izinkan rapat-rapat saat reses,” ujar Adies saat ditemui di Gedung DPR RI.

Menurutnya, setidaknya ada dua rancangan undang-undang lain yang tertahan karena menunggu rampungnya pembahasan KUHAP, yaitu RUU Perampasan Aset dan Revisi UU Kepolisian (UU Polri).

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *