Tolak Petunjuk Jaksa dalam Kasus Pagar Laut, Bareskrim Dikritik: Pakar Hukum Sebut Langgar Sistem Peradilan Pidana

images 24
8 / 100

Jakarta – Panthera Jagat News. Keputusan Bareskrim Polri yang menolak memenuhi petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara dugaan tindak pidana proyek Pagar Laut menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Langkah ini dinilai bertentangan dengan prinsip dasar sistem peradilan pidana terpadu dan berpotensi menghambat jalannya proses hukum secara adil.

Kabar penolakan ini mencuat usai jaksa mengembalikan berkas perkara kepada penyidik melalui Surat P-19 untuk dilengkapi. Namun, Bareskrim dikabarkan tidak menindaklanjuti petunjuk tersebut—sebuah langkah yang oleh sejumlah pakar hukum disebut bukan sekadar pelanggaran prosedural, melainkan bentuk pengabaian terhadap hukum yang berlaku.

Penolakan petunjuk jaksa tersebut dianggap melanggar beberapa ketentuan hukum penting, di antaranya:

  • Pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP, yang menyatakan bahwa jaksa dapat mengembalikan berkas kepada penyidik jika belum lengkap, dengan petunjuk yang wajib dipenuhi.
  • Pasal 14 huruf b KUHAP, yang memberi wewenang kepada jaksa untuk memberikan petunjuk dalam penyidikan.
  • Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, yang menegaskan bahwa jaksa berwenang melengkapi berkas dan melakukan pemeriksaan tambahan secara koordinatif.

Dengan tidak dilaksanakannya petunjuk jaksa, proses hukum secara otomatis terhambat karena berkas perkara tidak dapat dinyatakan lengkap (P-21). Hal ini berarti kasus tidak bisa dilimpahkan ke pengadilan, dan tersangka pun kehilangan haknya untuk mendapatkan kepastian hukum.

Beberapa pakar hukum angkat suara dan menyampaikan keprihatinan mereka atas sikap Bareskrim tersebut:

Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, pakar hukum pidana dan mantan Dirjen HAM Kemenkumham:
“Hubungan antara penyidik dan penuntut umum bersifat saling melengkapi, bukan saling menundukkan. Petunjuk jaksa adalah alat koordinasi yang bersifat mengikat demi efektivitas penuntutan.”

Prof. Dr. Topo Santoso, Guru Besar Hukum Pidana UI:
“Jika penyidik menolak petunjuk, maka jaksa tidak bisa menuntut di pengadilan. Ini jelas bertentangan dengan asas due process of law karena menunda akses tersangka ke pengadilan.”

Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LLM, advokat dan pakar hukum pidana:
“Petunjuk P-19 adalah bagian dari mekanisme kontrol untuk mencegah penyidikan yang bias. Menolaknya berarti menghambat fungsi check and balance dalam sistem peradilan pidana.”

Penolakan terhadap petunjuk jaksa bukan hanya menimbulkan stagnasi pada proses hukum, tetapi juga:

  • Menghambat hak tersangka untuk segera diadili sesuai asas kepastian hukum;
  • Memicu praperadilan, karena tersangka bisa menggugat lambannya penanganan kasus;
  • Melemahkan integritas sistem hukum, karena berpotensi mengindikasikan intervensi atau kepentingan non-prosedural;
  • Melanggar etika profesi bagi penyidik, apabila terbukti menolak perintah hukum yang sah.

Hingga berita ini diturunkan, Bareskrim Polri belum memberikan pernyataan resmi mengenai alasan penolakan terhadap petunjuk jaksa dalam kasus proyek Pagar Laut, yang diduga melibatkan potensi kerugian keuangan negara dan unsur tindak pidana korupsi.

Di tengah dorongan besar untuk reformasi dan transparansi di tubuh aparat penegak hukum, kasus ini menjadi ujian serius terhadap komitmen Polri dalam mendukung supremasi hukum.

Dalam sistem hukum yang sehat, penyidik dan jaksa adalah mitra strategis, bukan entitas yang saling berhadapan. Jika koordinasi ini rusak, maka yang menjadi korban adalah keadilan itu sendiri.

“Negara hukum tidak boleh tunduk pada ego sektoral. Petunjuk jaksa bukan opsional—itu kewajiban hukum,” tegas Prof. Topo Santoso.

Kini publik menanti—apakah Bareskrim akan memperbaiki langkahnya dan mematuhi mekanisme hukum yang berlaku, atau justru memperkuat kekhawatiran soal resistensi terhadap kontrol yuridis? (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *