Cianjur – Seputar Jagat News. Kamis, 2 Januari 2025. Permasalahan serius terkait pembebasan lahan untuk pembangunan proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) terus bergulir di Kabupaten Cianjur. Berdasarkan informasi yang dihimpun tim media Seputar Jagat News, tanah milik Perhutani seluas lebih kurang 56 hektar yang terletak di Kabupaten Bandung Barat, yang digunakan untuk pembangunan jalur kereta cepat, telah disiapkan penggantinya di Desa Simpang dan Desa Sukagalih, Kecamatan Takokak, Kabupaten Cianjur, seluas 114,70 hektar. Namun, proses penggantian lahan tersebut diduga melibatkan penyimpangan yang merugikan masyarakat setempat.
Salah seorang mantan Kepala Dusun Sukagalih yang berinisial YH, yang juga dikaitkan dengan PT FGSBI, mengungkapkan bahwa meskipun tanah pengganti telah disiapkan, hingga kini tanah tersebut belum diserahkan kepada Perhutani KPH Cianjur. “Tanah tersebut hingga saat ini belum juga diserahkan kepada pihak Perhutani KPH Cianjur,” ujar YH dalam wawancara dengan tim media.
Dugaan Penipuan dalam Pembebasan Lahan
Masalah semakin rumit dengan dugaan penipuan yang melibatkan warga Desa Simpang dan Desa Sukagalih. Berdasarkan investigasi tim media, tanah yang dibebaskan untuk proyek tersebut mulai sejak tahun 2016 ternyata tidak dihargai secara wajar. Masyarakat yang rela melepaskan tanah mereka diduga telah ditipu oleh oknum-oknum yang diangkat oleh PT KCIC untuk mengurus pembebasan lahan tersebut. Harga pembebasan lahan yang diterima warga sangat rendah, hanya sekitar Rp 1.000 hingga Rp 6.000 per meter persegi, jauh di bawah anggaran yang seharusnya diterima, yaitu sekitar Rp 130.000 per meter persegi.
Seorang perwakilan warga Takokak yang berinisial IP mengungkapkan kekecewaannya terkait praktik ini. “Kami merasa sangat dirugikan, karena tanah yang seharusnya dibebaskan dengan harga yang layak, malah dihargai sangat rendah. Bahkan, patok-patok tanah yang terpasang melampaui batas jalan desa, sehingga jalan desa pun ikut dijual,” ujar IP dengan nada kesal.
Desakan Warga untuk Pengukuran Ulang
IP juga menegaskan bahwa warga meminta dilakukan pengukuran ulang terhadap tanah yang telah dibebaskan. Warga Desa Simpang dan Desa Sukagalih menuntut transparansi dalam proses pembebasan lahan dan peninjauan kembali tentang kewajaran pembayaran yang diterima oleh 48 orang warga yang memiliki tanah seluas lebih kurang 49 hektar. “Kami ingin tanah kami diukur ulang karena patok KCIC sudah melampaui batas jalan desa. Kami juga meminta peninjauan ulang terhadap pembayaran yang diterima,” tambah IP.
Pernyataan Pihak Perhutani
Saat tim media mendatangi Perhutani KPH Cianjur untuk mengonfirmasi masalah ini, seorang sumber yang tidak mau disebutkan namanya mengungkapkan bahwa tanah tersebut hingga kini belum diserahkan kepada pihak Perhutani KPH Cianjur. Namun, pihak Perhutani menegaskan bahwa adanya plang Perhutani di kawasan tersebut terkait dengan kerjasama penanaman bibit kayu pinus dan Rasamala yang dilakukan dengan koperasi Wanamukti KPH Cianjur sejak 2019. “Tanah ini memang terkait dengan kerjasama penanaman bibit, namun belum diserahterimakan,” tegas sumber tersebut.
Potensi Kerugian Negara
Dengan terjadinya ketidaksesuaian antara anggaran yang diterima warga dan anggaran yang dialokasikan oleh PT KCIC, terdapat potensi kerugian negara yang cukup besar. Perlu dicatat bahwa proyek pembangunan Kereta Cepat Indonesia-China ini melibatkan dana konsorsium, termasuk dana dari BUMN, yang seharusnya dikelola dengan penuh tanggung jawab dan transparansi. Jika terbukti ada penyimpangan dalam pembebasan lahan ini, hal tersebut dapat merugikan negara secara signifikan.
Tindak Lanjut yang Diharapkan
Hingga berita ini diterbitkan, tim media belum berhasil menghubungi pihak PT FGSBI maupun PT KCIC untuk memberikan klarifikasi terkait masalah ini. Warga Desa Simpang dan Desa Sukagalih bersama dengan kuasa hukum mereka berencana untuk melanjutkan permasalahan ini melalui jalur hukum, dengan tujuan agar pembayaran yang diterima warga dapat lebih adil dan transparan.
Masyarakat berharap agar kasus ini segera ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum agar pelaku penyimpangan dalam proses pembebasan lahan ini dapat diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
(HSN/DN)