Semarang – Panthera Jagat News. Rabu 4 Juni 2025. Perkembangan baru terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap yang melibatkan mantan Wali Kota Semarang. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang pada Rabu (4/6), mantan Camat Gajahmungkur, Ade Bhakti Ariawan, secara terbuka mengakui pernah mengantar uang ratusan juta rupiah ke pejabat kepolisian dan kejaksaan.
Ade hadir sebagai saksi untuk Martono, Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Semarang, yang menjadi terdakwa dalam perkara ini. Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Gatot Sarwadi.
Dalam kesaksiannya, Ade menyatakan bahwa dirinya pernah menemani Eko Yuniarto, mantan Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang, untuk menyerahkan uang sebesar Rp350 juta. Rinciannya:
- Rp200 juta diberikan kepada Kanit Tipikor Polrestabes Semarang
- Rp150 juta diserahkan kepada Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Kota Semarang
“Waktu di Polrestabes saya hanya menunggu di luar, Pak Eko yang masuk ke ruangan. Saat di kejaksaan, saya datang terlambat dan Pak Eko sudah bersama Pak Iman (Kasi Intel),” ujar Ade, dikutip dari keterangannya di persidangan.
Menurutnya, penyerahan uang dilakukan pada April 2023, sebagai bagian dari “kebutuhan paguyuban camat”. Dana tersebut berasal dari fee proyek penunjukan langsung yang dijalankan di berbagai kecamatan di Kota Semarang.
Ade mengungkap bahwa dirinya pernah menyerahkan dana sebesar Rp148 juta dari fee proyek di Kecamatan Gajahmungkur kepada Lina, staf dari PT Chimarder 777 milik terdakwa Martono. Jumlah itu kemudian ditambah sekitar Rp180 juta oleh Lina, sehingga total menjadi Rp350 juta yang kemudian diberikan ke aparat penegak hukum.
Ia juga menyebut, berdasarkan penuturan Eko Yuniarto, praktik pemberian seperti itu sudah menjadi kebiasaan rutin.
Tak hanya itu, Ade menjelaskan bahwa pelaksanaan proyek penunjukan langsung di 16 kecamatan berasal dari permintaan Alwin Basri, suami mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu. Permintaan itu, kata Ade, disampaikan dalam pertemuan para camat di Kota Salatiga.
Awalnya, permintaan tersebut menargetkan anggaran sebesar Rp20 miliar, namun kemudian disepakati menjadi Rp16 miliar.
Dari pelaksanaan proyek, Ade mengonfirmasi adanya pemotongan fee sebesar 13 persen yang harus diserahkan kepada Martono. Meski demikian, ia mengaku tidak tahu untuk siapa fee tersebut sebenarnya ditujukan.
“Para camat menyanggupi permintaan itu karena Pak Alwin dianggap sebagai representasi dari Wali Kota,” ujar Ade.
Menanggapi kesaksian Ade, terdakwa Martono membantah telah memerintahkan pemberian uang kepada aparat penegak hukum.
“Saya tidak pernah memerintahkan untuk memberikan uang, karena itu untuk kebutuhan paguyuban,” kata Martono di hadapan majelis hakim. (Red)