Program Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer Menuju Skala Nasional? Ini Catatan Para Pengamat Pendidikan

6819bace370b2
8 / 100

Jakarta – Panthera Jagat News. 10 Mei 2025, Program pengiriman siswa bermasalah ke barak militer yang diinisiasi oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tengah menjadi sorotan nasional. Dukungan terhadap program ini datang dari berbagai pihak, termasuk Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, yang menilai program tersebut berpotensi diterapkan secara nasional bila hasil uji coba awal terbukti efektif.

“Kalau uji coba pertama ini bagus, kami meminta Menteri Dikdasmen untuk mengeluarkan sebuah peraturan supaya bisa dijalankan secara masif di seluruh Indonesia,” ujar Pigai pada Selasa (6/5/2025).

Pigai meyakini bahwa pendidikan dalam lingkungan barak militer dapat meningkatkan kualitas karakter dan kedisiplinan siswa. Ia juga menyebut bahwa program ini dapat mendukung visi Indonesia yang ingin tampil lebih kompetitif secara global pada 2025–2035.

Pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), Satria Dharma, menilai program tersebut layak dijalankan sebagai solusi alternatif bagi siswa dengan masalah perilaku ekstrem. Ia menyebut bahwa anak-anak yang dikirim ke barak militer umumnya adalah mereka yang sudah tidak dapat ditangani oleh sekolah maupun orang tua.

“Ini adalah special case yang membutuhkan special treatment. Mereka kecanduan miras, gim online, merokok, hingga terlibat geng motor dan tawuran. Guru dan orang tua sudah kewalahan menangani,” jelas Satria, Rabu (7/5/2025).

Menurutnya, anak-anak tersebut justru memiliki keinginan untuk berubah, tetapi lingkungan rumah dan sekolah tidak lagi mampu memberikan intervensi yang efektif.

Satria juga mengungkapkan bahwa siswa di barak mendapatkan pendidikan tentang bela negara, wawasan kebangsaan, P3K, disiplin, anti-narkoba, serta pelajaran keagamaan. Ia menilai hal-hal tersebut tidak banyak diajarkan di sekolah umum maupun lingkungan rumah.

Satria mengajak para pengkritik untuk meninjau langsung kegiatan di barak militer agar dapat memberikan penilaian objektif.

“Marilah kita berhenti dari sikap skeptis dan sinis. Kita perlu mulai bersikap kolaboratif demi anak-anak bangsa yang sudah tidak bisa lagi ditangani dengan pendekatan biasa,” imbuhnya.

Pengamat pendidikan lainnya, Ina Liem, turut menyatakan dukungan terhadap program ini. Ia menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan intervensi yang tepat bagi siswa yang terpinggirkan dari sistem pendidikan formal.

“Banyak anak yang dicap ‘nakal’ sebenarnya bukan karena moral buruk, tapi karena mereka kehilangan ruang untuk merasa berhasil, baik di rumah maupun sekolah,” ujar Ina.

Ia mengkritisi sistem pendidikan konvensional yang terlalu fokus pada teaching to the test dan mengejar skor, sehingga hanya anak-anak dengan prestasi akademik tinggi yang mendapat pengakuan. Dalam sistem ini, anak-anak dengan bakat non-akademik merasa terasing dan tidak dihargai.

Namun begitu, Ina menekankan pentingnya narasi yang tepat dalam kebijakan ini. Pengiriman ke barak harus dilihat sebagai pengakuan atas potensi dan harapan perubahan, bukan sebagai bentuk hukuman.

“Pendekatan ini tetap harus menjunjung tinggi hak-hak anak dan tidak boleh menjadi ruang kekerasan. Tapi sebagai strategi pendidikan untuk mengembalikan nilai-nilai kebangsaan, ini layak dipertimbangkan serius,” tambahnya.

Ina juga menyoroti perlunya intervensi serupa bagi para guru, terutama setelah laporan UIN Syarif Hidayatullah menyebut bahwa lebih dari 50 persen guru memiliki opini intoleran.

“Jika kita bicara soal karakter dan nasionalisme, tidak hanya siswa yang perlu dibina, tapi juga pendidik,” pungkasnya. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *