Surabaya — Panthera Jagat News. Industri media Indonesia tengah menghadapi pukulan berat dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melanda sejumlah stasiun televisi dan perusahaan media besar. Fenomena ini menjadi perhatian serius Dewan Pers, khususnya Anggota Dewan Pers Abdul Manan, yang menilai situasi tersebut sebagai ancaman nyata bagi keberlanjutan ekosistem pers nasional.
Dalam pernyataannya di Surabaya, Kamis (15/5/2025), Manan menekankan bahwa keberlanjutan bisnis media adalah isu fundamental yang tak boleh diabaikan. Tanpa fondasi ekonomi yang kuat, menurutnya, tidak mungkin kebebasan pers dan profesionalisme dapat terus dijaga.
“Isu keberlanjutan bisnis media menjadi sangat krusial. Karena kalau secara bisnis tidak eksis, maka tidak mungkin kita bisa bicara soal kebebasan pers dan profesionalisme,” tegas Manan, yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers.
Meskipun Dewan Pers periode 2025–2028 baru saja memulai masa kerjanya, Manan menyebutkan bahwa topik mengenai masa depan industri media sudah mengemuka dalam rapat-rapat awal dan sesi brainstorming.
“Hari ini kami baru memulai rapat orientasi. Tapi sebelumnya kami sudah sempat berdiskusi, bahwa salah satu tantangan utama ke depan adalah membantu media dari sisi bisnis, di luar isu kebebasan pers dan profesionalisme,” ujarnya.
Salah satu langkah konkret yang sudah dilakukan Dewan Pers adalah mendorong negosiasi yang adil antara media dan platform digital raksasa, seperti Google dan Meta, melalui Komite Publisher Rights. Manan menjelaskan bahwa selama ini media menjadi pihak yang memproduksi konten, tetapi platform digitallah yang menikmati keuntungan besar dari peredaran informasi tersebut, terutama melalui iklan digital.
“Platform-platform itu hanya mengkurasi berita. Kontennya dibuat oleh media, tapi yang menikmati keuntungan justru mereka. Karena itu, skema publisher rights perlu terus didorong,” jelas Manan.
Namun, Manan mengakui bahwa skema ini masih belum inklusif. Media arus utama dengan sumber daya dan posisi tawar tinggi cenderung lebih mampu menjalankan mekanisme tersebut. Sementara itu, media kecil masih menghadapi kesulitan untuk masuk ke dalam sistem yang sama.
Selain memperjuangkan publisher rights, Dewan Pers juga membuka peluang pembentukan skema dana abadi (trust fund) untuk mendukung keberlanjutan media. Gagasan ini berasal dari sejumlah organisasi profesi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
“Konsepnya adalah membentuk media fund yang sumber dananya bisa berasal dari negara maupun swasta. Nantinya dana ini akan digunakan untuk membantu keberlangsungan media, terutama yang mengalami kesulitan,” jelas Manan.
Namun, ia menegaskan bahwa wacana ini masih dalam tahap pembahasan awal dan belum dibahas secara resmi oleh Dewan Pers.
“Ini masih dalam proses kajian dan belum diputuskan. Tapi ide-ide seperti ini perlu disambut serius untuk menyelamatkan masa depan jurnalisme kita,” pungkasnya. (Red)