Jakarta — Panthera Jagat News. Situasi pengamanan di Kejaksaan Agung (Kejagung) Jakarta Selatan masih menjadi sorotan pasca perintah Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto untuk mengerahkan personel TNI menjaga kantor kejaksaan di seluruh Indonesia. Pantauan pada Rabu (14/5/2025) pukul 11.20 WIB menunjukkan bahwa belum ada penambahan personel jaga di kawasan Kejagung.
Di gerbang masuk Jalan Bulungan, terlihat satu personel TNI Angkatan Darat (AD) berseragam hijau dengan corak hitam memegang senjata laras panjang, berdiri sekitar tiga meter dari pintu gerbang, tepat di depan pos Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Di sampingnya, dua petugas pengamanan dalam (pamdal) Kejaksaan berseragam cokelat khas Kejaksaan berdiri tanpa membawa senjata atau alat bantu lainnya.
Pamdal tampak aktif berinteraksi dengan pengunjung, menanyakan kepentingan mereka sebelum mempersilakan masuk. Pejalan kaki juga ditanya mengenai tujuan kedatangan mereka. Namun, tidak ada pemeriksaan tas atau barang bawaan oleh petugas keamanan.
Selain di gerbang, personel TNI AD juga berjaga di depan gedung-gedung utama seperti Gedung Satgas PKH, Gedung Utama Kejaksaan Agung, Gedung Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil), dan Gedung Bundar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus). Formasi pengamanan serupa diterapkan di lokasi-lokasi tersebut.
Perintah pengamanan ini tertuang dalam Surat Telegram Panglima TNI Nomor TR/442/2025 tertanggal 6 Mei 2025, yang memerintahkan pengerahan personel dan alat perlengkapan untuk mendukung pengamanan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia . Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) menindaklanjuti dengan Surat Telegram berderajat kilat Nomor ST/1192/2025 pada tanggal yang sama, memerintahkan pengerahan 30 personel untuk setiap Kejati dan 10 personel untuk setiap Kejari .
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen TNI Kristomei Sianturi menegaskan bahwa dukungan TNI dilakukan berdasarkan permintaan resmi dan kebutuhan yang terukur, serta sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ia menambahkan bahwa TNI menjunjung tinggi prinsip profesionalitas, netralitas, dan sinergisitas antar-lembaga.
Langkah ini menuai kritik dari berbagai pihak. Pengamat militer dan politik Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, menilai bahwa kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari revisi Undang-Undang TNI yang baru saja disahkan pada Maret lalu. Ia menyebut bahwa penempatan militer di lingkungan kejaksaan tidak memiliki dasar yang kuat dan berpotensi menghidupkan kembali praktik Dwi Fungsi TNI .
Direktur Imparsial Ardi Manto juga mengingatkan bahwa pengamanan oleh TNI di kejaksaan menambah kekhawatiran publik. Ia menyebut langkah ini sebagai sinyal kuat menghidupkan kembali praktik lama Dwi Fungsi TNI yang selama ini ditolak dalam semangat reformasi sektor keamanan. Ardi menegaskan bahwa jika tujuannya sekadar pengamanan, seharusnya cukup menggunakan petugas keamanan seperti satpam, bukan militer.
Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto menyatakan bahwa pihaknya akan meminta penjelasan dari Panglima TNI mengenai perintah pengamanan ini, mengingat pentingnya menjaga independensi lembaga penegak hukum dalam negara demokrasi
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menyatakan bahwa Kejaksaan Agung membuka peluang untuk menambah personel TNI sebagai tenaga pengamanan di jajaran Kejaksaan, meskipun saat ini tidak ada ancaman signifikan. Ia menambahkan bahwa pengamanan ini dilakukan sebagai langkah antisipasi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ke depannya .
Harli juga menjelaskan bahwa pengamanan TNI terhadap Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia sudah mulai dilakukan sejak adanya edaran dari Panglima TNI. Ia menambahkan bahwa peluang penambahan personel pengamanan dari TNI masih dalam tahap pembahasan dan akan disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing satuan kerja.
Pengamanan Kejaksaan Agung oleh TNI merupakan langkah yang menimbulkan berbagai reaksi. Sementara pihak TNI dan Kejaksaan menegaskan bahwa langkah ini dilakukan untuk menjaga keamanan dan berdasarkan kerja sama yang telah ada, sejumlah pihak mengkhawatirkan potensi gangguan terhadap independensi lembaga penegak hukum dan kembalinya peran militer dalam ranah sipil. Diskusi dan evaluasi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan bahwa langkah ini sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. (Red)