Pasal-pasal Karet Dikoreksi MK, Polri Tegaskan Siap Tunduk dan Beradaptasi

678e2c0e564d1
8 / 100

Jakarta – Panthera Jagat News. Selasa, 29 April 2025. Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengoreksi sejumlah pasal kontroversial dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Polri menyatakan komitmennya untuk menyesuaikan diri dan tunduk pada putusan tersebut. Koreksi ini dinilai sebagai langkah penting dalam memperkuat perlindungan hukum dan kebebasan berekspresi di ruang digital.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, menegaskan bahwa institusinya siap beradaptasi.

“Tentu Polri akan beradaptasi atau menyesuaikan serta tunduk pada putusan MK,” ujar Trunoyudo kepada Kompas.com.

Trunoyudo menambahkan, koreksi yang dilakukan MK terhadap pasal-pasal dalam UU ITE sejatinya bertujuan untuk memperjelas batas-batas hukum dan memastikan kepolisian tetap fokus pada pelayanan dan perlindungan yang lebih baik terhadap masyarakat.

“Itu merupakan aturan yang berlaku untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat,” lanjutnya.

Putusan MK ini merupakan hasil dari pengujian uji materi Pasal 27A, Pasal 45 Ayat (4), Pasal 45 Ayat (2), dan Pasal 28 Ayat (2) dalam UU Nomor 1 Tahun 2024, yang merupakan perubahan kedua atas UU ITE Nomor 11 Tahun 2008.

Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 Ayat (4) tidak lagi berlaku secara umum. Frasa tersebut kini hanya berlaku jika korban adalah individu atau perseorangan, dan tidak bisa digunakan untuk mempidanakan kritik terhadap lembaga, kelompok masyarakat, korporasi, profesi, atau pejabat publik.

“Menyatakan frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A dan Pasal 45 Ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai individu atau perseorangan,” kata Suhartoyo dalam persidangan di MK.

Hakim MK Arief Hidayat dalam pendapatnya turut menegaskan bahwa pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak berlaku untuk entitas kolektif seperti institusi atau jabatan.

“Kalau yang merasa dicemarkan bukan individu, maka ketentuan pidana tidak berlaku. Mereka masih bisa menggugat secara perdata,” jelasnya.

Tak hanya itu, MK juga menyatakan bahwa ketentuan mengenai penyebaran informasi elektronik yang bersifat menghasut dan memicu kebencian di ruang digital tidak lagi bisa dijadikan dasar untuk pidana jika hanya menimbulkan keributan di media sosial. MK menilai, pasal ini multitafsir dan tidak relevan dengan era digital yang demokratis.

“Frasa yang menyatakan ‘menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok’ bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Suhartoyo.

Gugatan terhadap pasal-pasal kontroversial ini diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang karyawan swasta asal Jepara, Jawa Tengah. Daniel menilai sejumlah pasal dalam UU ITE berpotensi mengekang kebebasan berpendapat dan kerap disalahgunakan untuk membungkam kritik di ruang digital.

Dengan adanya putusan MK, penegakan hukum oleh aparat, khususnya Polri, harus disesuaikan. Penanganan kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di dunia maya kini wajib mempertimbangkan batasan hukum baru tersebut, termasuk memastikan subjek hukum yang dilindungi adalah perorangan, bukan institusi.

Polri menyatakan akan menjalankan proses adaptasi dengan tetap mengedepankan azas keadilan, akuntabilitas, dan profesionalisme, sejalan dengan semangat reformasi penegakan hukum digital di Indonesia. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *