Otto Hasibuan Minta Penegak Hukum Hati-hati dalam Menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor untuk Hindari Ketidakadilan

673573f419fa4
7 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Jum.at, 15 November 2024. Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, *Otto Hasibuan, menekankan pentingnya kehati-hatian dalam penerapan *Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Menurut Otto, penegak hukum harus berhati-hati dan jujur dalam menegakkan kedua pasal tersebut agar tidak menimbulkan ketidakadilan, baik terhadap masyarakat maupun terhadap individu yang terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi.

Otto mengingatkan bahwa kedua pasal dalam UU Tipikor ini sering kali menjadi sumber kontroversi, baik dalam penerapannya maupun dalam penafsirannya. Ia mengingatkan agar penerapan pasal-pasal tersebut tidak hanya berfokus pada upaya pemberantasan korupsi, tetapi juga menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat penafsiran yang keliru atau sewenang-wenang. “Kita hanya berharap kepada penegak hukum agar menerapkan pasal 2 dan pasal 3 ini sebaik-baiknya, dengan hati-hati, dan dengan sejujurnya. Jangan sampai diberlakukan secara tidak adil,” ujar Otto dalam pidato sambutannya di acara Seminar Nasional yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Kamis (14/11/2024).

Pasal 2 UU Tipikor dan Kontroversinya

Otto kemudian merinci salah satu pasal yang menjadi perhatian utama, yakni Pasal 2 UU Tipikor, yang mengatur tentang tindakan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal ini menetapkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara, dapat dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda antara Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.

Menurut Otto, salah satu kontroversi yang muncul terkait pasal ini adalah penggunaan frasa “perbuatan melawan hukum” yang dianggap terlalu luas dan bisa menimbulkan penafsiran yang tidak jelas. Sebagian pihak berpendapat bahwa frasa ini perlu dirumuskan lebih spesifik agar dapat memenuhi unsur-unsur pidana yang lebih jelas, terutama terkait dengan actus reus (perbuatan) yang menunjukkan adanya tindak pidana yang sah.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Tentang Frasa “Perbuatan Melawan Hukum”

Meskipun ada pro dan kontra mengenai rumusan dalam Pasal 2, Otto mengutip putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan bahwa frasa “perbuatan melawan hukum” dalam pasal tersebut tidaklah lentur seperti yang dituduhkan. Menurutnya, MK telah menegaskan bahwa unsur-unsur dalam Pasal 2—termasuk perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau orang lain serta merugikan negara—telah termaktub dengan jelas dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, Otto menilai bahwa ketentuan hukum dalam Pasal 2 telah cukup spesifik dan memenuhi unsur-unsur pidana yang diperlukan, meskipun ada pihak yang berpendapat sebaliknya.

“Sebenarnya dalam putusan MK itu tidak lentur, karena memang unsur perbuatan melawan hukum dan memperkaya diri sendiri, orang lain, serta merugikan negara itu sudah termaktub di dalamnya,” kata Otto, menanggapi pandangan yang menganggap pasal tersebut perlu diperjelas lebih lanjut.

Pentingnya Kehati-hatian dalam Penegakan Hukum

Otto mengingatkan bahwa meskipun pasal ini sudah jelas menurut ketentuan hukum, penegak hukum tetap harus berhati-hati dalam penerapannya, agar tidak terjadi ketidakadilan. Penerapan yang sembarangan atau berlebihan terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 dapat menyebabkan individu yang tidak bersalah terjerat kasus korupsi, atau justru sebaliknya, memberikan peluang bagi pelaku korupsi yang seharusnya dihukum untuk lolos dari jeratan hukum.

“Karena dengan demikian, kita bisa menjerat pelaku korupsi kalau dia benar-benar melakukan perbuatan itu,” tegas Otto. Ia mengingatkan bahwa tujuan dari pemberantasan korupsi adalah untuk menegakkan keadilan, bukan untuk menciptakan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.

Penerapan Pasal 3 UU Tipikor: Kehati-hatian dalam Mengatur Tindak Pidana Korupsi

Otto juga menyampaikan perhatian serupa terkait dengan Pasal 3 UU Tipikor yang mengatur mengenai penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat publik yang dengan sengaja merugikan keuangan negara. Pasal ini, menurut Otto, juga harus diterapkan dengan penuh kehati-hatian, karena penyalahgunaan wewenang yang melibatkan kerugian negara sering kali dapat melibatkan pertimbangan subjektif.

“Pasal 3 juga harus diterapkan dengan hati-hati, karena kadang-kadang kita hanya bisa menilai dari hasil akhir, apakah tindakan itu benar-benar merugikan negara atau tidak. Penyalahgunaan wewenang seringkali melibatkan pertimbangan yang tidak semudah kelihatannya.”

Harapan untuk Penegakan Hukum yang Lebih Baik

Melalui pidato tersebut, Otto Hasibuan menyampaikan harapan agar penegak hukum, baik itu *Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), **Kejaksaan Agung, maupun **Polri, bisa lebih bijaksana dalam menerapkan ketentuan dalam UU Tipikor, dengan menjaga prinsip *keadilan dan kebenaran. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya berlaku bagi mereka yang berkuasa, tetapi juga bagi masyarakat luas yang berharap agar tindakan korupsi dapat diberantas tanpa merugikan pihak yang tidak bersalah.

Kesimpulan

Dalam pidatonya, Otto Hasibuan mengingatkan kepada seluruh aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menerapkan *Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, dengan tujuan agar tidak terjadi penerapan hukum yang **tidak adil. Ia menegaskan bahwa penting untuk menghindari interpretasi yang *terlalu luas yang bisa merugikan masyarakat dan individu tertentu. Sebagai penutup, Otto menegaskan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam penegakan hukum agar tindak pidana korupsi dapat ditangani dengan tepat dan tidak ada pihak yang dirugikan. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *