Cianjur, Jumat, 23 Mei 2025 – Panthera Jagat News. Skandal dugaan penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) kembali mengguncang dunia pendidikan di Kabupaten Cianjur. Kali ini, sorotan publik tertuju pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Nurul Falah, yang diduga mencairkan dana ratusan juta rupiah menggunakan data warga belajar fiktif. Parahnya, praktik ini dikabarkan melibatkan oknum dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Cianjur.
Menurut data yang dihimpun redaksi Seputarjagat News, PKBM Nurul Falah menerima kucuran dana BOSP Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp 417.880.000. Rincian alokasi dana tersebut sebagai berikut:
- Paket A: 1 warga belajar (Rp 1.320.000)
- Paket B: 14 warga belajar (Rp 21.280.000)
- Paket C: 216 warga belajar (Rp 395.280.000)
Namun, laporan keuangan tersebut berbanding terbalik dengan kondisi nyata di lapangan. Dalam keterangannya kepada awak media, Iksan, penjaga PKBM Nurul Falah, mengungkapkan bahwa jumlah peserta didik yang aktif mengikuti kegiatan belajar sangat tidak sesuai dengan laporan dana.
“Kegiatan belajar dilaksanakan sore hari, Senin sampai Jumat. Tapi Paket A cuma ada 6 orang, Paket B semuanya daring dan belum pernah hadir sama sekali. Untuk Paket C, yang rutin hadir hanya sekitar 17 orang,” kata Iksan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sekitar 80% peserta didik tidak pernah mengikuti tatap muka karena mayoritas berasal dari luar daerah seperti Bogor, Sukabumi, hingga Jawa Timur. Mereka mendaftar hanya melalui media sosial, tanpa proses asesmen atau verifikasi langsung.
Temuan ini langsung memicu pertanyaan serius tentang keabsahan proses administrasi dan tata kelola pendidikan di PKBM tersebut. Seorang pengelola PKBM lain berinisial Lin (48), yang ditemui pada 22 Mei 2025, membenarkan bahwa seharusnya semua calon siswa wajib mengikuti prosedur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), meski dilakukan secara online.
“Semua berkas seperti fotokopi rapor, ijazah sebelumnya, dan kehadiran fisik calon siswa ke sekretariat wajib dilakukan. Selain itu, minimal 20% kegiatan belajar harus tatap muka. Tidak boleh sepenuhnya online,” jelas Lin.
Lin juga mempertanyakan mengapa warga belajar dari luar daerah lebih memilih mendaftar di PKBM Cianjur padahal di wilayah mereka sendiri tersedia banyak lembaga serupa.
“PKBM itu ada hampir di setiap kecamatan. Kenapa siswa dari Jawa Timur, Sukabumi, atau Bogor malah daftar ke Cianjur dan tidak pernah hadir? Ini patut dicurigai,” tambahnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Paguyuban Maung Sagara, Sambodo Ngesti Waspodo, meminta pemerintah pusat segera turun tangan menyelidiki kasus tersebut.
“Kasus ini mencerminkan masalah struktural dalam pengelolaan dana pendidikan. Pemerintah pusat sering menambah anggaran, tetapi di daerah malah dijadikan ajang bancakan oknum lembaga dan dinas,” tegas Sambodo.
Ia juga menekankan bahwa penegakan hukum yang lemah di daerah akan menjadi hambatan serius dalam misi Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas korupsi secara menyeluruh, khususnya di sektor pendidikan.
“Jika Kejaksaan Agung tidak segera bertindak, maka komitmen Presiden dalam memerangi korupsi hanya akan jadi slogan. Ini soal nasib generasi bangsa,” pungkasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Disdikpora Kabupaten Cianjur belum memberikan pernyataan resmi terkait dugaan keterlibatan oknum dalam kasus tersebut. Publik kini menunggu langkah nyata dari aparat penegak hukum untuk menelusuri aliran dana, mengungkap dalang di balik skema fiktif ini, dan mengembalikan kepercayaan terhadap lembaga pendidikan nonformal.
(DS/RD)