Komisi III DPR Desak Penuntasan Kasus Pemerasan DWP: Pemecatan Dirnarkoba Polda Metro Jaya Tepat dan Harus diikuti Proses Hukum Tegas

download 4
6 / 100

Jakarta – Seputar Jagat News. Jum’at, 3 Januari 2025. Anggota Komisi III DPR, Abdullah, menegaskan bahwa pemecatan terhadap Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak, terkait dugaan pemerasan terhadap penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024, merupakan keputusan yang tepat dan didasari oleh bukti yang kuat. Abdullah, yang akrab disapa Gus Abduh, menyampaikan bahwa Polri tidak mungkin sembarangan dalam mengambil keputusan untuk memberhentikan anggotanya, terlebih dengan jabatan strategis yang diemban oleh Donald.

Menurut Gus Abduh, pemecatan tersebut merupakan langkah yang tegas, yang menggambarkan bahwa Polri tidak mentolerir tindakan korupsi maupun penyalahgunaan wewenang. “Pemecatan ini sudah sangat tepat, karena didasari oleh bukti yang kuat dan mengikat,” ujar Gus Abduh dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Penyalahgunaan Tes Narkoba dalam Pemerasan

Gus Abduh menegaskan bahwa tes narkoba yang dilakukan oleh pihak kepolisian pada acara DWP seharusnya merupakan langkah positif untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Namun, apabila digunakan untuk tujuan pemerasan, tindakan tersebut sangat merusak kredibilitas institusi kepolisian dan kepercayaan publik. “Tes narkoba adalah hal yang baik, namun penyalahgunaannya untuk memeras penonton justru sangat merugikan,” kata Gus Abduh.

Lebih lanjut, Gus Abduh mengingatkan bahwa proses sidang etik harus segera dilanjutkan terhadap oknum polisi lain yang terlibat dalam pemerasan tersebut. Menurutnya, sidang etik tersebut harus dilakukan secara transparan dan tanpa ada upaya menutupi fakta-fakta yang ada. “Sidang etik harus dilanjutkan dengan adil dan transparan, tanpa ada yang ditutupi. Semua pelaku harus mendapat perlakuan yang sama, tanpa pandang bulu,” tegasnya.

Tindak Pidana Pemerasan Harus Dikejar dengan Hukum Pidana

Anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini juga menegaskan bahwa pelaku pemerasan tidak hanya harus dihadapkan pada sidang etik internal Polri, tetapi juga harus diusut dengan menggunakan hukum pidana. Tindak pidana pemerasan, menurut Gus Abduh, diatur dengan tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 368 dan Pasal 36. Dengan adanya bukti yang kuat dan nominal uang pemerasan yang sangat besar, mencapai Rp 2,5 miliar, pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.

“Kasus ini jelas merupakan tindak pidana pemerasan yang harus diproses secara hukum, tidak cukup hanya dengan sidang etik. Uang hasil pemerasan ini cukup besar, dan harus ada sanksi pidana yang sesuai,” imbuh Gus Abduh.

Citra Polri dan Nama Baik Indonesia Terancam

Gus Abduh juga menyatakan bahwa tindakan pemerasan ini tidak hanya mencoreng nama baik Polri, tetapi juga merusak citra Indonesia di mata dunia internasional. “Kasus ini sangat memalukan, terutama karena para korban adalah warga negara asing, yakni penonton dari Malaysia. Indonesia bisa dianggap sebagai negara yang tidak serius dalam penegakan hukum, jika kasus ini tidak ditangani dengan baik,” tambahnya.

Oleh karena itu, Gus Abduh mengapresiasi langkah cepat dan tegas Polri yang telah mengambil tindakan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam kasus pemerasan ini. Sejak awal, Gus Abduh memang mendesak agar Polri mengusut tuntas kasus ini tanpa ada kompromi.

Polri Tegaskan Pemecatan Dirnarkoba dan Sidang Etik Lanjutan

Sebelumnya, pada Selasa (31/12/2024), Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) setelah menjalani sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Mohammad Choirul Anam mengungkapkan bahwa PTDH tersebut didasarkan pada hasil pemeriksaan yang mendalam dan saksi-saksi yang memberikan keterangan yang memberatkan dan meringankan. Selain Donald, dua polisi lain yang terlibat dalam kasus pemerasan juga diberhentikan secara tidak hormat.

Dalam sidang yang berlangsung hampir 14 jam, terungkap bahwa aksi pemerasan tersebut telah direncanakan dengan matang oleh oknum-oknum dari Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Alur perencanaan dan pelaksanaan pemerasan, termasuk distribusi hasil pemerasan yang mencapai Rp 2,5 miliar, turut dibahas dalam sidang tersebut. Namun, identitas dua polisi yang turut dipecat masih belum diumumkan secara resmi.

Polri Tindak Tegas Pemerasan yang Melibatkan Anggota Polisi

Menurut Kadiv Propam Polri Irjen Abdul Karim, 18 anggota Polri dari berbagai satuan, termasuk Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, dan Polsek Kemayoran, terbukti melanggar kode etik dalam kasus pemerasan terhadap 45 penonton warga negara Malaysia. Polisi-polisi tersebut diduga melakukan tes urine acak kepada penonton, dan kemudian mengancam untuk menahan mereka apabila tidak membayar sejumlah uang tebusan, baik yang hasil tesnya positif narkoba maupun negatif.

“Total ada 45 warga negara Malaysia yang menjadi korban, dengan uang hasil pemerasan yang diamankan mencapai Rp 2,5 miliar,” ungkap Abdul Karim di Gedung Mabes Polri, Selasa (24/12/2024).

Dengan terbukanya fakta-fakta ini, Gus Abduh mengingatkan bahwa pemecatan para oknum polisi tersebut hanya merupakan langkah awal. Proses hukum yang transparan dan adil, baik di sidang etik maupun di ranah pidana, harus segera dilakukan untuk memastikan keadilan dan memulihkan citra Polri sebagai institusi penegak hukum yang berintegritas. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *