SEMARANG — Panthera Jagat News. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menilai bahwa kemarahan mantan Wali Kota Semarang, Hevearita G. Rahayu alias Mbak Ita, kepada suaminya Alwin Basri hanyalah dalih untuk menutupi keterlibatannya dalam kasus korupsi proyek pengadaan meja dan kursi sekolah di Dinas Pendidikan Kota Semarang.
Dalam sidang tuntutan terhadap terdakwa Rachmat Utama Djangkar yang digelar di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (28/5/2025), JPU Rio Vernika Putra menyampaikan bahwa pengakuan Mbak Ita yang sebelumnya menyatakan dirinya telah menegur suaminya agar tidak cawe-cawe dalam proyek pemerintah tidak sejalan dengan tindakan nyatanya.
“Penyampaian Hevearita G. Rahayu kepada Alwin Basri untuk tidak ikut campur, hanya dalih semata,” ujar Jaksa Rio di hadapan Majelis Hakim.
Jaksa menegaskan bahwa Mbak Ita sebagai kepala daerah memiliki kewenangan penuh untuk menolak atau menyetop usulan perubahan anggaran. Namun, pada kenyataannya, ia justru menyetujui pengadaan meja kursi senilai Rp20 miliar yang berasal dari usulan Alwin.
“Bahkan, Hevearita G. Rahayu tetap menyetujui usulan anggaran pengadaan meja kursi pabrikasi sebesar Rp20 miliar dari Alwin Basri,” lanjut Rio.
Jaksa juga membeberkan bahwa Mbak Ita dan Alwin memiliki kesamaan kehendak (meeting of mind) dalam pengondisian proyek tersebut. Mereka diduga bersekongkol agar perusahaan milik terdakwa Rachmat menjadi penyedia meja dan kursi, dengan imbalan commitment fee sebesar Rp1,75 miliar.
“Terjadi kerja sama yang disadari oleh Hevearita G. Rahayu bersama dengan Alwin Basri,” kata Rio.
Pemberian fee tersebut, menurut jaksa, merupakan bentuk suap. Walaupun uang Rp1,75 miliar belum sempat diterima langsung oleh Mbak Ita maupun Alwin, niat dan kesepakatan sudah cukup untuk memenuhi unsur pidana.
“Ketika terdakwa Rachmat berniat menyerahkan uang, Alwin meminta terdakwa untuk menyimpan terlebih dahulu dan akan diambil sewaktu-waktu diperlukan,” jelas Jaksa.
Atas keterlibatannya, terdakwa Rachmat Utama Djangkar dituntut hukuman penjara 2 tahun 6 bulan dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, perkara yang melibatkan Mbak Ita dan Alwin Basri masih dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi. KPK terus mendalami sejauh mana peran keduanya dalam memuluskan proyek yang diduga menjadi ajang korupsi berjemaah di lingkungan Pemerintah Kota Semarang tersebut.
Kasus ini mencoreng integritas pejabat publik, terutama dalam lingkup pemerintah daerah, dan menunjukkan bagaimana relasi kekuasaan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi bahkan dalam lingkup keluarga. (Red)