Gratifikasi Jadi Sumber Kejahatan Korupsi: Guru Besar Unsoed Disorot saat Dicecar Arteria Dahlan di Sidang Suap Kasus Ronald Tannur

681855f011814
8 / 100

Jakarta — Panthera Jagat News. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof. Hibnu Nugroho, menegaskan bahwa gratifikasi merupakan akar dari kejahatan dalam tindak pidana korupsi. Hal itu ia sampaikan saat hadir sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap yang melibatkan terdakwa Lisa Rachmat, pengacara dari Gregorius Ronald Tannur, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025).

Pernyataan Hibnu muncul saat dirinya dicecar oleh anggota DPR sekaligus kuasa hukum Lisa, Arteria Dahlan. Arteria mempertanyakan dasar pengaturan gratifikasi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, apakah sudah tepat dan sesuai.

“Pengaturan gratifikasi, dalam suatu delik tindak pidana korupsi itu sudah tepat atau tidak?” tanya Arteria kepada Hibnu di hadapan majelis hakim.

Hibnu kemudian menjelaskan bahwa gratifikasi tidak bisa dianggap sebagai hal biasa karena menjadi pangkal lahirnya praktik korupsi. Ia menyebut bahwa ketentuan yang melarang gratifikasi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merupakan bentuk nyata dari semangat antikorupsi.

“Gratifikasi itu adalah sumbernya kejahatan. Dalam pencegahan korupsi, gratifikasi dilihat sebagai sumber masalah,” tegas Hibnu.

Ia menambahkan bahwa dalam praktiknya, gratifikasi biasanya diberikan bukan tanpa maksud. Pemberi memiliki tujuan tertentu yang erat kaitannya dengan jabatan atau wewenang penerima, yang biasanya merupakan penyelenggara negara.

“Kalau seseorang memberi sesuatu kepada pejabat, itu pasti ada tujuannya. Maka pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan. Tujuannya adalah agar pejabat itu melakukan sesuatu yang menguntungkan si pemberi,” paparnya.

Hibnu juga mengkritik anggapan masyarakat yang kerap menormalisasi gratifikasi sebagai bagian dari budaya atau rezeki. Ia menyebut, sering kali gratifikasi dianggap wajar dengan sebutan seperti “rezeki anak saleh” atau “alhamdulillah”, padahal tindakan itu dapat merusak integritas institusi negara.

“Dalam pencegahan tindak pidana korupsi, itulah masalahnya. Gratifikasi dianggap hal biasa, ‘oh ini rezeki anak saleh’, padahal ini awal dari kejahatan,” ujarnya.

Sidang ini digelar dalam rangka mengungkap skandal dugaan suap yang menyeret nama-nama besar. Dalam kasus ini, terdakwa Zarof didakwa menyuap Hakim Agung Soesilo yang menangani kasasi dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti oleh Ronald Tannur, anak mantan anggota DPR RI.

Kasasi tersebut diajukan oleh jaksa penuntut umum karena vonis bebas terhadap Ronald di tingkat Pengadilan Negeri Surabaya dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Dalam dakwaan, disebutkan bahwa Zarof menerima suap dari Lisa Rachmat sebesar Rp 5 miliar dalam dua tahap, masing-masing Rp 2,5 miliar, guna mempengaruhi putusan kasasi agar tetap menguatkan vonis bebas.

Tak hanya itu, jaksa juga menemukan indikasi penerimaan gratifikasi yang fantastis oleh Zarof, yakni berupa uang tunai senilai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas. Uang dan logam mulia tersebut ditemukan saat penggeledahan rumahnya di kawasan elite Senayan, Jakarta Pusat.

Total nilai gratifikasi yang diterima Zarof, menurut jaksa, mencapai lebih dari Rp 1 triliun, menambah kompleksitas dan bobot perkara yang tengah diadili. Sidang masih akan berlanjut, dengan sorotan tajam publik terhadap independensi peradilan dan integritas para penegak hukum. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *