Sukabumi – Panthera Jagat News. Gedung Pusat Perkantoran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi yang telah menelan anggaran hingga Rp172 miliar sejak 2019, kini menuai sorotan tajam dari masyarakat. Proyek ambisius yang dirancang untuk menjadi pusat pelayanan bagi 14 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) ini justru terbengkalai dan berubah menjadi bangunan rusak tak terurus, bahkan disebut warga sebagai “rumah hantu”.
Data dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) menunjukkan, proyek tersebut sudah melalui tujuh kali proses lelang dengan total anggaran mencapai Rp172 miliar. Namun hingga memasuki 2025, tak ada kejelasan mengapa gedung tersebut belum bisa difungsikan. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan di tengah masyarakat Sukabumi.
Mantan Bupati Sukabumi Marwan Hamami (MH) sebelumnya menyatakan bahwa keterlambatan pembangunan disebabkan oleh refocusing anggaran saat pandemi Covid-19 dan juga adanya temuan struktur bangunan yang harus diteliti lebih lanjut. Pernyataan ini sempat dimuat di sejumlah media massa saat ia masih menjabat.
Namun, masyarakat menilai alasan tersebut tidak menjawab secara tuntas soal mandeknya pembangunan selama enam tahun terakhir. Gedung yang seharusnya menjadi pusat pelayanan masyarakat kini justru dibiarkan hancur dan tak digunakan, menimbulkan dugaan pemborosan anggaran negara.
Yang menjadi perhatian besar masyarakat adalah mengapa proyek ini tidak pernah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan setelah berkali-kali laporan dari aktivis antikorupsi Sukabumi dikirimkan ke lembaga antirasuah tersebut, hingga kini belum ada tindakan atau penyelidikan terbuka.
“Apakah karena ada hubungan khusus antara KPK dengan mantan bupati MH?” demikian pertanyaan tajam dari sejumlah warga, menuding ada potensi konflik kepentingan dalam penanganan kasus ini.
Selain KPK, masyarakat juga mempertanyakan peran Inspektorat dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mereka ingin tahu apakah proyek ini pernah diperiksa secara termin, apakah ada laporan hasil audit, dan mengapa Laporan Keuangan Pemkab Sukabumi tetap meraih opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) setiap tahunnya. DPRD Kabupaten Sukabumi juga tak luput dari sorotan karena dianggap kurang maksimal dalam mengawasi penggunaan anggaran.
Salah satu tokoh masyarakat, Budi Raharjo (57), dengan tegas menyampaikan kekecewaannya atas mangkraknya gedung tersebut.
“Rakyat Sukabumi berkabung melihat gedung Rp172 miliar yang dibangun dengan uang rakyat kini jadi bangunan rusak. Apa benar tidak ada institusi hukum yang bisa menyentuh kasus ini? Padahal ini dibangun atas prakarsa mantan Bupati MH,” ujar Budi kepada Seputarjagat News.
Budi juga mempertanyakan proses tender proyek tersebut yang dimenangkan oleh perusahaan dari luar Sukabumi. Ia mewakili suara para kontraktor lokal yang merasa tersingkir dan kecewa atas hasil pembangunan yang justru mangkrak.
Hal serupa disampaikan oleh praktisi hukum Irianto Marpaung, SH, yang akrab disapa Bang MP. Ia menilai proyek gagal pakai seperti ini jelas menimbulkan kerugian negara.
“Pembangunan proyek gedung yang tidak dapat digunakan adalah bentuk kerugian negara yang signifikan. Hal ini tidak hanya merugikan secara keuangan, tetapi juga merugikan ekonomi, sosial, dan pelayanan publik. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa semua proyek pembangunan dilakukan dengan efisien, efektif, dan transparan, sehingga tidak ada uang negara yang terbuang percuma dan masyarakat dapat merasakan manfaatnya.” pungkasnya. (DS/RD).