Bandung – Panthera Jagat News. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali menyita perhatian publik usai melontarkan gagasan kontroversial terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta. Tak hanya ide yang mencuat, gaya kepemimpinannya yang kerap blusukan membuatnya dijuluki “Mulyono Jilid 2” dan bahkan “Jokowinya Sunda”.
Julukan tersebut merujuk pada kombinasi gaya merakyat ala Presiden Jokowi dan keberanian dalam mengkritik kebijakan pusat, serta ide-ide populis yang berani.
Saat berbicara di Musyawarah Nasional Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI) yang digelar di Bandung, Selasa (6/5/2025), Dedi menyampaikan pandangan tajamnya soal ketimpangan fiskal antara daerah.
Ia menyatakan, jika menjadi gubernur Jakarta, ia akan menggaji setiap kepala keluarga (KK) sebesar Rp10 juta per bulan, dengan asumsi jumlah KK mencapai dua juta dari total penduduk Jakarta sekitar 10 juta orang.
“Jakarta ini penduduknya di bawah 10 juta, APBD-nya Rp90 triliun. Kalau dari 10 juta penduduk ada 2 juta KK, itu bisa digaji Rp10 juta. Rp10 juta dikali 2 juta hanya Rp20 triliun. Kalau saya (jadi gubernurnya), saya bagi,” ujar Dedi dalam pidatonya.
Namun, ia menegaskan bahwa skema serupa tak bisa diterapkan di Jawa Barat yang memiliki penduduk sekitar 50 juta dengan APBD hanya Rp36 triliun.
Pernyataan Dedi tersebut bukan tanpa dasar. Ia menyoroti ketimpangan fiskal nasional dan menuntut adanya pemerataan anggaran agar pembangunan bisa mandiri dan berorientasi hasil.
“Pembangunan harus diselesaikan dalam waktu cepat dan diarahkan ke investasi. Gak bisa pembangunan begini terus. Tahun ini harus beda dengan tahun kemarin,” tegas Dedi.
Pernyataan Dedi langsung ditanggapi PDI Perjuangan dan Pemprov DKI. Jubir PDIP, Guntur Romli, menyebut Dedi seharusnya fokus mengurus Jabar, bukan mengomentari Jakarta.
“Saya kira Kang Dedi dipilih warga Jabar untuk fokus ngurus Jabar, tidak perlu ikut-ikut ngurus Jakarta,” kata Guntur Romli, Selasa (13/5).
Ia menilai, pembagian uang secara merata ke seluruh KK tidak mencerminkan keadilan karena tidak semua warga membutuhkan bantuan. Guntur menyarankan agar program sosial tetap tepat sasaran seperti KJP, KJS, KMJU, Bansos, dan transportasi gratis bagi kelompok tertentu.
Senada, Staf Khusus Gubernur Jakarta, Chico Hakim, menyebut Dedi keliru dalam perhitungan.
“Mungkin terlalu bersemangat, jadi salah hitung,” ujar Chico, Senin (12/5).
Dedi Mulyadi disebut-sebut mirip Jokowi karena gaya blusukannya yang merakyat. Ia kerap turun langsung ke masyarakat, mendengar keluhan warga, dan memberi solusi di tempat.
Namun, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menilai Dedi memiliki perbedaan signifikan dari Jokowi.
“Dedi Mulyadi sangat artikulatif. Dia bisa berdialog, berdiskusi, bahkan berdebat. Ini berbeda dengan Jokowi yang lebih memilih senyum dan jawaban singkat,” kata Burhan dalam program On Point with Adisty, Kompas TV, Sabtu (10/5).
Burhan mengingatkan kiprah Dedi sejak menjadi anggota DPRD Purwakarta (1999-2004), yang berani berdebat dengan buruh saat demo besar, sebuah aksi yang kemudian mendongkrak popularitasnya hingga menjabat Bupati Purwakarta dua periode.
Dedi juga dianggap mendobrak dominasi politik etnik Jawa di panggung nasional. Burhan menilai, popularitas Dedi melampaui kepala daerah lain saat ini.
“Hari ini, tidak ada kepala daerah yang mengalahkan popularitas Kang Dedi,” kata Burhan.
Biasanya, popularitas kepala daerah bermula dari Jakarta. Namun, Dedi justru membalikkan tren itu lewat kiprahnya dari Jawa Barat.
“Dedi Mulyadi mendobrak sorotan nasional yang biasanya dimulai dari Jakarta. Ini bukti bahwa politik etnis bisa berubah,” ujar Burhan.
Dedi juga pernah mendapat perhatian karena memuji penampilan Gibran Rakabuming Raka dalam debat Pilpres 2024.
“Orang sangka Mas Gibran cupu, tapi ternyata suhu,” ujar Dedi, Minggu (24/12/2023), menyindir pihak yang sebelumnya meremehkan Gibran.
Ia menyebut Gibran mampu membuktikan diri sebagai debater handal dan menyampaikan argumen dengan percaya diri.
Dengan gaya blusukan yang kuat, sikap artikulatif, serta keberanian menyuarakan keadilan fiskal, Dedi Mulyadi berhasil mengukuhkan diri sebagai figur politik yang tak hanya populer di Jawa Barat, tapi juga punya pengaruh nasional. Julukan “Mulyono Jilid 2” bukan sekadar sindiran, melainkan gambaran bagaimana Dedi Mulyadi mampu menggabungkan pendekatan populis ala Jokowi dengan karakter dialogis yang khas—menjadikannya salah satu tokoh paling diperhitungkan menjelang kontestasi politik ke depan. (Red)