Gubernur Dedi Mulyadi Akui Telah Kecewakan DPRD Jabar, Sampaikan Permintaan Maaf di Hadapan Ketua DPRD

20250220 Sosok Dedi Mulyadi Gubernur Jabar Copot Kepsek
8 / 100

Bandung – Panthera Jagat News. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi secara terbuka menyampaikan permintaan maafnya kepada DPRD Jawa Barat atas pernyataan kontroversial yang sebelumnya menuai kritik tajam. Permintaan maaf itu disampaikan langsung di hadapan Ketua DPRD Jabar, Buky Wibawa, dalam acara penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Pemprov Jabar dan Polda Jabar di Gedung Pakuan, Kota Bandung, pada Minggu, 18 Mei 2025.

Dalam sambutannya, Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa Kang Dedi mengakui bahwa dirinya telah mengecewakan banyak anggota DPRD. “Mohon maaf, Pak. Saya banyak mengecewakan teman-teman Bapak di DPRD,” ucap Dedi sembari menoleh ke arah Buky Wibawa. Ia juga menyadari bahwa banyak pihak yang marah terhadapnya setiap hari. Namun, ia menyampaikan hal tersebut dengan nada santai. “Saya senang kalau dimarahi, karena yang marahin saya biasanya jadi terkenal juga,” ujarnya sembari tersenyum.

Permintaan maaf Dedi Mulyadi ini tidak lepas dari peristiwa walk out yang dilakukan Fraksi PDI Perjuangan dalam rapat paripurna DPRD Jabar pada Jumat, 16 Mei 2025. Aksi tersebut dipicu oleh pernyataan Dedi saat menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Cirebon pada 7 Mei lalu. Dalam pidatonya di hadapan para kepala desa se-Jawa Barat, Dedi menyatakan bahwa dirinya tidak selalu berkonsultasi dengan DPRD sebelum mengambil kebijakan.

Menurut Dedi, proses konsultasi yang terlalu panjang kerap menghambat pelaksanaan program pembangunan. Ia mencontohkan tindakan cepat yang diambil dalam pembongkaran bangunan liar di aliran Sungai Bekasi dan kawasan Puncak. “Duit mah nuturkeun, rezeki mah nuturkeun. Saya punya keyakinan bahwa memimpin tidak selalu harus ada duit,” kata Dedi dalam pidatonya yang dikutip dari Tribun Jabar.

Ia juga menyinggung soal sejarah VOC dan raja-raja terdahulu yang membangun tanpa harus menyusun anggaran seperti saat ini. Lebih lanjut, Dedi menegaskan bahwa kolaborasi antara eksekutif dan legislatif tidak semestinya hanya dimaknai dalam bentuk rapat-rapat formal, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Pernyataan tersebut dianggap oleh Fraksi PDI Perjuangan sebagai bentuk pelecehan terhadap fungsi dan martabat DPRD. Anggota Fraksi PDIP, Doni Maradona Hutabarat, menyampaikan interupsi saat rapat paripurna dan menuntut adanya klarifikasi langsung dari Gubernur. “Negara ini dibentuk berdasarkan trias politika. Gubernur tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada etika dan saling menghargai,” tegas Doni.

Doni juga menilai bahwa pernyataan Dedi telah merendahkan lembaga DPRD, dan jika tidak ada klarifikasi, maka pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sebaiknya dihentikan. Hal ini disusul oleh interupsi dari Memo Hermawan, anggota Fraksi PDIP lainnya, yang menyebut hubungan antara eksekutif dan legislatif di Jabar sedang tidak harmonis.

Memo pun mengajak seluruh anggota Fraksi PDIP untuk melakukan walk out dari sidang. “Sebelum hubungan eksekutif dan legislatif membaik, silakan berdiri Fraksi PDIP Perjuangan,” serunya. Aksi tersebut diikuti oleh seluruh anggota fraksi, termasuk Wakil Ketua DPRD Jabar dari Fraksi PDIP, Ono Surono.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai bahwa permasalahan ini harus diselesaikan melalui dialog terbuka antara DPRD dan Gubernur. Ia menekankan pentingnya kolaborasi yang saling memperkuat antara legislatif dan eksekutif demi kemajuan Jawa Barat. “Keduanya harus duduk bersama, menyamakan visi, karena kebijakan daerah seharusnya dibentuk berdasarkan kesepahaman,” ujar Kunto.

Meski sempat memicu ketegangan, langkah Dedi Mulyadi untuk meminta maaf di hadapan Ketua DPRD menunjukkan niat baik untuk meredakan situasi. Permintaan maaf tersebut bisa menjadi langkah awal untuk memperbaiki komunikasi dan kerja sama antara dua pilar penting dalam pemerintahan daerah.

Kini, harapan masyarakat Jawa Barat tertuju pada kedua belah pihak agar dapat kembali bersinergi dalam membangun daerah, tanpa diwarnai konflik kepentingan atau ego sektoral. Kolaborasi yang sejati, seperti yang diungkapkan Dedi, bukan hanya soal rapat dan prosedur, tapi tentang keberpihakan kepada rakyat. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *