Jakarta – Panthera Jagat News. Hakim Eko Aryanto kembali menjadi sorotan publik setelah Mahkamah Agung (MA) resmi memindahkannya ke wilayah yang lebih jauh. Tak sampai satu bulan setelah dimutasi dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Pengadilan Negeri Sidoarjo, kini Eko kembali dipindahkan ke Pengadilan Tinggi Papua Barat, sesuai keputusan rapat pimpinan MA pada 9 Mei 2025.
Konfirmasi mutasi ini disampaikan langsung oleh Juru Bicara MA, Yanto, yang membenarkan adanya rotasi besar-besaran terhadap 41 hakim di lingkungan pengadilan tinggi. Salah satu yang terdampak adalah Eko Aryanto.
“Iya benar (mutasi 41 hakim),” ujar Yanto kepada wartawan, Minggu (11/5/2025).
Nama Eko Aryanto sebelumnya ramai diperbincangkan publik sejak Desember 2024 setelah menjatuhkan vonis ringan terhadap Harvey Moeis, suami dari aktris terkenal Sandra Dewi, dalam kasus megakorupsi timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun.
Dalam putusannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Eko hanya menghukum Harvey 6 tahun 6 bulan penjara dan mewajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar.
“Mengadili, menyatakan Terdakwa Harvey Moeis telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan tindak pidana pencucian uang,” ujar hakim Eko saat membacakan amar putusan.
Vonis itu dinilai jauh dari harapan publik, bahkan lebih dari separuh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang menuntut 12 tahun penjara.
Hakim Eko menyebut beberapa faktor yang meringankan hukuman Harvey, seperti:
- Bersikap sopan selama persidangan
- Masih memiliki tanggungan keluarga
- Tidak pernah terlibat kasus hukum sebelumnya
Selain itu, Eko juga menerima pembelaan Harvey Moeis yang mengklaim hanya bertindak sebagai perantara dan bukan pengambil keputusan. Harvey disebut hanya mewakili PT RBT dalam pertemuan dengan PT Timah Tbk, dan tidak memiliki jabatan resmi di dalam PT RBT.
“Harvey hanya membantu temannya, Direktur Utama PT RBT Suparta,” kata Eko dalam pertimbangan putusan.
Putusan ringan ini memicu gelombang kritik dan mendorong Kejaksaan Agung untuk segera mengajukan banding. Hasilnya, pada 13 Februari 2025, Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara.
“Menjatuhkan terhadap Terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 20 tahun,” ucap Ketua Majelis Hakim Teguh Harianto di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Setelah putusan banding ini dan meningkatnya tekanan publik, MA melakukan rotasi besar-besaran terhadap para hakim. Dalam rotasi 22 April 2025, Eko Aryanto dipindahkan dari PN Jakpus ke PN Sidoarjo.
Namun, belum genap satu bulan, pada 9 Mei 2025, Eko kembali dimutasi – kali ini ke Pengadilan Tinggi Papua Barat, wilayah yang secara geografis lebih terpencil dibanding penempatan sebelumnya.
Mutasi ini memunculkan spekulasi bahwa Mahkamah Agung tengah melakukan pembenahan internal dan menjaga integritas lembaga peradilan, menyusul kasus-kasus sensitif yang menyita perhatian publik. Meskipun belum ada pernyataan resmi yang menyebutkan alasan spesifik mutasi Eko Aryanto, rangkaian perpindahan dalam waktu singkat ini seolah menjadi bagian dari respons atas dinamika yang terjadi di tubuh peradilan Indonesia.
Apakah ini akhir dari sorotan publik terhadap Eko Aryanto, atau justru awal dari pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik pengadilan di tanah air, masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab. (Red)