Bandung – Seputar Jagat News. Kamis, 21 November 2024. Kasus dugaan pemalsuan keterangan dalam penetapan ahli waris yang diterbitkan oleh Pengadilan Agama Klas I A Bandung kembali mencuat ke permukaan. Penetapan ini berkaitan dengan warisan almarhum Bapak Hayat Adiwiria dan almarhumah Ibu Hj. Jaja Malia yang dimohonkan oleh Dadang K. Hayat, MBA, beserta rekan-rekannya (selaku Pemohon) pada tahun 2012. Penetapan nomor: 118/Pdt.P/2012/PA.Bdg yang diterbitkan pada 1 Februari 2012 ini kini terungkap menyimpan sejumlah kejanggalan yang mengarah pada dugaan keterangan palsu yang disampaikan oleh saksi dalam proses peradilan.
Tujuan utama dari penetapan ahli waris ini adalah untuk menetapkan hak waris atas harta peninggalan almarhum Hayat Adiwiria dan Hj. Jaja Malia kepada delapan orang anak mereka. Dalam proses persidangan yang berlangsung, Pemohon mengajukan dua saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah terkait status hidup ahli waris yang dimaksud. Kedua saksi tersebut adalah saksi Syarief Achmad, H, Drs., dan saksi Gatot Wahyu DwiYono, SP, yang mengaku mengetahui dengan pasti bahwa kedelapan anak dari pasangan suami istri tersebut masih hidup.
Namun, dalam perkembangan lebih lanjut, terungkap bahwa salah satu dari delapan ahli waris yang disebutkan dalam penetapan tersebut, yakni Ir. Djohar Hayat, ternyata telah meninggal dunia pada tanggal 3 September 2006, jauh sebelum penetapan tersebut dikeluarkan. Fakta ini jelas bertentangan dengan keterangan yang diberikan oleh kedua saksi yang mengklaim bahwa seluruh ahli waris masih hidup pada saat penetapan dibuat. Ketidakcocokan ini mengarah pada dugaan bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan dapat dikategorikan sebagai keterangan palsu.
Penetapan yang melibatkan ketidaksesuaian data ini tentu menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang seharusnya menjadi ahli waris yang sah, karena memberikan hak waris kepada pihak yang tidak berhak atau mengabaikan fakta bahwa salah satu dari ahli waris yang tercatat dalam penetapan tersebut sudah meninggal. Keterangan palsu ini juga dapat merusak keabsahan proses hukum yang seharusnya dilaksanakan dengan prinsip keadilan dan integritas.
Pihak yang merasa dirugikan oleh penetapan ahli waris ini dapat mengajukan permohonan pembatalan atau peninjauan kembali terhadap keputusan yang telah dikeluarkan pada 1 Februari 2012. Berdasarkan Pasal 224 HIR (Herziene Indische Reglement) dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pihak yang merasa haknya dilanggar berhak untuk mengajukan upaya hukum jika terdapat cacat formil atau materiil dalam proses peradilan, termasuk pemalsuan keterangan.
Selain itu, jika terbukti bahwa saksi-saksi yang memberikan keterangan palsu tersebut sengaja menyembunyikan fakta atau memberikan informasi yang tidak benar, mereka dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 242 KUHP yang mengatur tentang memberikan keterangan palsu dalam persidangan. Dalam hal ini, penting bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan yang mendalam guna memastikan apakah memang terjadi pemalsuan dan penyalahgunaan dalam proses hukum ini.
Pihak Pengadilan Agama Bandung, sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan penetapan tersebut, juga diharapkan untuk memberikan klarifikasi yang mendalam terkait proses verifikasi yang dilakukan sebelum mengeluarkan penetapan ahli waris. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap integritas sistem peradilan agama di Indonesia. Jika terdapat kelalaian atau kesalahan dalam proses tersebut, Pengadilan Agama Bandung perlu melakukan langkah-langkah perbaikan dan memastikan keadilan bagi pihak yang merasa dirugikan.
Dalam situasi ini, Pemohon, Dadang K. Hayat, MBA, dan rekan-rekannya, perlu memberikan klarifikasi mengenai dugaan pemalsuan yang melibatkan keterangan saksi tersebut. Proses hukum yang jelas dan transparan akan sangat membantu untuk memastikan bahwa hak waris yang diberikan benar-benar sesuai dengan fakta yang ada dan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan karena manipulasi keterangan atau kesalahan administratif.
Dengan demikian, permasalahan ini diharapkan dapat diselesaikan dengan pendekatan yang adil dan berkeadilan, dengan menegakkan prinsip hukum yang mengutamakan kebenaran dan kejujuran dalam setiap tahapan proses peradilan.
Terkait dengan dugaan ketidaksesuaian dalam penetapan ahli waris yang diterbitkan oleh Pengadilan Agama Klas 1A Bandung, awak media berkesempatan untuk mengonfirmasi permasalahan tersebut kepada Panitera Pengadilan Agama Bandung, H. Dede Supriyadi, SH, pada hari ini.
Dalam konfirmasi tersebut, H. Dede mengungkapkan bahwa dirinya belum dapat memberikan informasi yang lengkap mengenai keberadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saksi yang diajukan dalam proses penetapan ahli waris. “Maaf, KTP saksi tidak ada di dalam bundel arsip Pengadilan Agama Bandung, sehingga saya tidak dapat memastikan alamat atau identitas saksi secara pasti,” ujar H. Dede saat ditemui oleh awak media.
Lebih lanjut, H. Dede menjelaskan bahwa pihak pengadilan berencana untuk melakukan pengecekan ulang terhadap arsip-arsip yang ada. “Kami akan coba melihat kembali dokumen tersebut, barangkali saja ada yang terlewat atau ‘keselip’. Saya juga akan menemui panitera yang sebelumnya menangani perkara ini, mengingat dia sudah tidak bertugas di sini lagi,” tambahnya.
Pernyataan ini menimbulkan beberapa pertanyaan terkait dengan pengelolaan arsip dan dokumen yang harusnya dijaga dengan ketat dalam rangka menjamin keabsahan setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Dalam hal ini, pihak pengadilan diharapkan untuk segera melakukan klarifikasi lebih lanjut, terutama terkait dengan dokumen penting yang menjadi dasar keputusan hukum tersebut.
Sampai berita ini diterbitkan pemohon Dadang K. Hayat belum dapat dihubungi oleh awak media terkait permasalahan ini. (Sam/Hasan)