Kejagung Periksa Dua Hakim Terkait Kasus Suap dan Gratifikasi Penanganan Perkara Wilmar Group Cs

Screenshot 2025 05 28 145611 1
7 / 100

Jakarta — Panthera Jagat News. Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali menggali lebih dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menyeret sejumlah hakim dan korporasi besar. Pada Selasa, 27 Mei 2025, Kejaksaan Agung memeriksa dua hakim, yakni HS dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan HM dari Pengadilan Tinggi Jakarta. Pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka pengusutan kasus suap dan/atau gratifikasi terkait penanganan perkara perdata yang berujung vonis lepas (ontslag) terhadap tiga korporasi besar.

“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, dalam keterangan tertulis.

Diketahui, HS dan HM bukan kali pertama dimintai keterangan. Keduanya sebelumnya juga telah diperiksa oleh penyidik pada April 2025 lalu.

Selain dua hakim tersebut, penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) juga memeriksa empat saksi lain yang berasal dari korporasi, khususnya yang terkait dengan Wilmar Group. Mereka adalah:

  • SMA, Manager Litigasi PT Wilmar
  • MBHA, Head Corporate Legal PT Wilmar
  • WK, Staf PT Wilmar Nabati Indonesia
  • DMBB, Head Legal PT Permata Hijau Palm Oleo

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengurai lebih dalam dugaan keterlibatan pihak korporasi dalam upaya memengaruhi proses hukum melalui suap terhadap hakim.

Kasus ini bermula dari vonis ontslag (lepas dari segala tuntutan hukum) terhadap tiga grup korporasi besar yakni Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Perdata Hijau Group yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025. Ketiga korporasi tersebut dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun hakim menilai bahwa perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, sehingga mereka dilepaskan dari semua dakwaan.

Atas putusan tersebut, jaksa penuntut umum telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, karena menilai vonis tersebut mencederai keadilan dan berpotensi membuka celah impunitas bagi pelaku kejahatan korporasi.

Dalam proses penyidikan, Kejagung telah menetapkan 8 orang tersangka, di antaranya empat hakim yang diduga kuat menerima suap untuk merekayasa vonis. Mereka adalah:

  • Djuyamto
  • Agam Syarif Baharuddin
  • Ali Muhtarom
  • Arif Nuryanta (Wakil Ketua PN Jakarta Pusat)

Keempatnya merupakan bagian dari majelis hakim yang menangani perkara dan dinilai berperan aktif dalam rekayasa hukum untuk membebaskan ketiga korporasi dari jerat pidana.

Sebelumnya, Kejagung juga telah memeriksa Herri Swantoro, Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, terkait dengan administrasi putusan perkara banding yang berhubungan langsung dengan kasus ini. Putusan tersebut teregistrasi dalam perkara nomor 220/PDT/2025/PT DKI, dan memenangkan tiga korporasi besar tersebut dalam gugatan perdata terhadap Kementerian Perdagangan.

Putusan ini turut dijadikan landasan oleh hakim di tingkat pertama untuk mengeluarkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut dalam perkara pidana yang menyertainya.

Dalam perkara perdata yang dimenangkan para korporasi, yakni PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Multi Nabati Sulawesi, dan PT Wilmar Bionergi Indonesia, pengadilan memutuskan bahwa pemerintah harus membayar ganti rugi sebesar Rp947,3 miliar. Gugatan diajukan karena kelima perusahaan tersebut mengklaim mengalami kerugian akibat kebijakan pemerintah dalam menangani krisis kelangkaan minyak goreng pada tahun 2021.

Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut kredibilitas lembaga peradilan dalam menghadapi tekanan dari kekuatan modal. Kejagung menegaskan akan terus mengusut perkara ini hingga tuntas sebagai bentuk komitmen terhadap penegakan hukum yang adil dan transparan, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *